Oleh Sutaningrat Puspa Dewi, S.Pd., M.Sc.
Mendikbud telah memaparkan Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19). Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas menjadi angin segar bagi pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan siswa yang sudah merindukan pelaksanaan pembelajaran di sekolah.
Namun demikian, PTM Terbatas hanya bisa dilakukan oleh sekolah jika sudah memenuhi beberapa kriteria seperti: 1) telah melaksanakan vaksinasi bagi para guru dan tenaga kependidikannya, 2) mendapat izin dari orang tua murid, dan 3) memenuhi daftar periksa fasilitas kesehatan yang standarnya sudah diatur oleh pemerintah.
PTM disarankan berlangsung 3-4 jam sehari dengan prioritas topik pembelajaran yang tidak dapat diajarkan optimal secara daring. Jumlah siswa yang diizinkan juga hanya 50% dari total keseluruhan yang artinya kombinasi metode daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan) akan menjadi tidak terelakkan. Pemerintah pusat dan daerah juga akan bersinergi melakukan pengawasan agar proses pembelajaran berlangsung aman bagi seluruh pihak.
Jika dilihat dari pengaturan rasio 50:50 dalam pelaksanaan PTM ini, maka dapat dipastikan sekolah akan menjalani metode pembelajaran yang dikenal sebagai Blended Learning atau (lebih kerennya) Hybrid Learning. Sebuah metode yang menggabungkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) bagi 50% siswa yang belajar di sekolah dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) bagi 50% siswa yang belajar di rumah.
Dalam praktiknya Hybrid Learning sudah lama diterapkan dalam kurikulum beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Mereka biasanya menggunakan istilah Face-to-Face Learning (F2L) dan Online Learning (OL). Dalam 14 kali pertemuan, misalnya, dapat diatur delapan kali F2L dan enam kali OL dengan kombinasi sesuai kebutuhan. Dalam hal ini Hybrid Learning dilaksanakan secara konsekutif atau selang-seling bergantian. Yang unik dari situasi pandemi ini dan akan kita hadapi nanti adalah Hybrid Learning yang berlangsung secara bersamaan antara siswa yang sedang berada di sekolah dan di rumah. Hal ini memunculkan tantangan tersendiri.
Paling tidak ada tiga tantangan yang harus dimitigasi oleh pihak sekolah dalam merespons kebijakan PTM Terbatas. Pertama, keamanan seluruh pemangku kepentingan. Protokol kesehatan (Prokes) seharusnya tidak lagi menjadi kewajiban tetapi kebutuhan untuk menciptakan rasa aman bagi seluruh pihak. Edukasi mengenai prokes juga harus terus digaungkan dan dipraktikkan hingga kebiasaan tersebut berkembang dan mengkristal menjadi budaya baru di sekolah.
Kedua, tata kelola dan tata laksana di tingkat sekolah. Pelaksanaan dua metode secara bersamaan sudah pasti memiliki dampak pada beban kerja guru dan tenaga kependidikan dalam memfasilitasi keduanya. Pimpinan sekolah harus melakukan kalkulasi dengan cermat pada beban kerja guru serta tenaga kependidikan di sekolahnya agar jangan sampai terjadi burnout atau lelah serta stres akibat kelebihan beban kerja. Aktivitas utama sekolah adalah layanan pendidikannya. Oleh sebab itu “para pelayan”-nya harus dijamin kesehatan fisik dan mentalnya.
Hal yang sama juga berlaku untuk beban belajar bagi para siswa. Jangan ada lagi kasus stres apalagi bunuh diri siswa akibat ketidakmampuan memenuhi tuntutan tugas sekolah. Ketiga, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan PTM. Ada banyak hal yang bisa dirampingkan dan dirampungkan dengan penerapan sistem ataupun penggunaan teknologi yang tepat guna. Dalam hal ini kreativitas pimpinan sekolah beserta jajarannya memegang peran penting.
Asesmen terhadap kapasitas sekolah penting dilakukan. Inilah yang menyebabkan pelaksanaan sistem serta penerapan teknologi di tiap sekolah tidak akan pernah sama karena kemampuan serta kebutuhan tiap sekolah amat beragam. Bagaimana, sudah siapkah kira-kira sekolah di sekitar anda menyambut kebijakan progresif ini?
Penulis, Educational Strategist & Pengurus Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia