DENPASAR, BALIPOST.com – Pertanian kini diharapkan menjadi penyelamat ekonomi Bali setelah pariwisata tumbang akibat pandemi Covid-19. Namun, tidak mudah bersandar kepada sektor primer ini karena terlalu lama sudah krama Bali menepikannya.
Sayangnya tidak banyak lagi pilihan tersedia untuk menyelamatkan perekonomian Bali yang sudah kadung terjungkal. Mau tidak mau, pertanian harus kembali dihidupkan dengan merombak total strategi dan kebijakan dari pemerintah.
Pengamat dan peneliti pertanian, Prof. I Wayan Windia mengungkapkan, ada kesalahan kebijakan dan strategi pertanian selama ini. Akibatnya, petani selalu saja mengalami tekanan dan menjadi kerak kemiskinan. ‘’Petani itu hingga ini masih menjadi kerak kemiskinan. Nasibnya paling malang,’’ ujar Windia, Selasa (6/4).
Windia menambahkan, pertanian hanya ramai dibicarakan oleh pejabat di masa kampanye politik, lalu dilupakan saat menjabat. Sesekali wacana menghidupkan pertanian muncul, misalnya saat pandemi melanda dan pariwisata Bali terpuruk.
Namun, lagi-lagi hanya sekedar retorika belaka. ‘’Belum ada upaya benar-benar serius untuk memajukan pertanian dan menolong petani,’’ katanya.
Jika pemerintah benar-benar serius, kata dia, hal utama yang harus dilakukan adalah mengubah strategi pertanian dari yang berorientasi proses produksi ke produk pertanian. Selama ini hasil pertanian terutama beras justru terus ditekan harganya serendah mungkin.
Akibatnya, petani selalu merugi karena biaya produksi terus naik, sementara harga gabah selalu dibuat rendah. Kebijakan pemberian pupuk subsidi dinilai Windia tidaklah tepat. ‘’Kebijakan subsidi pupuk sangat tidak tepat. Harusnya yang disubsidi adalah harga produk sehingga harga jual hasil pertanian tinggi. Jika harga tinggi, akan banyak yang mau jadi petani,’’ tegas Windia yang kini menjabat sebagai Ketua STIKOM Wira Bhakti ini.
Menurut Windia, saat ini petani Bali dengan kepemilikan lahan rata-rata hanya 0,3 hektar memang belum menjanjikan hasil memadai. Jadi, sangat wajar jika generasi muda yang jadi petani jumlahnya makin menyusut.
Terlebih lagi dengan laju kencang pariwisita sebelum pandemi yang menjanjikan penghasilan lebih baik, generasi muda memilih bekerja di hotel, restoran atau sarana transportasi yang melayani turis. Sehingga, petani yang kini tersisa bekerja di sawah hanya yang berusia di atas 50 tahun.
Ketika petani yang sudah berusia lanjut ini nantinya telah tiada, kata dia, maka lenyap pulalah petani di Bali. Yang akan tersisa hanya tanah sawah yang lambat laun juga akan beralih fungsi menjadi perumahan.
Pandemi sedikit menahan laju alih fungsi lahan hingga 2.500 hektar per tahun. Tetapi jika pariwisata Bali bangkit dan kembali melaju kencang, alih fungsi lahan akan kembali mengganas. Pertanian Bali akan menjadi cerita, hanya bisa dijejak dari tradisi dan ritual upakara. Tapi itupun juga tak akan lama, tradisi dan ritual akan ikut lenyap. (Nyoman Winata/balipost)