DENPASAR, BALIPOST.com – Mengenang sosok sang sastrawan serta memperingati perjalanan hidupnya, Jatijagat Kampung Puisi menyelenggarakan acara Malam Doa untuk Umbu Landu Paranggi, Sabtu (10/4) malam. Malam doa dilakukan secara luring dan daring yang dipusatkan di Jatijagat Kampung Puisi.
Acara yang dimulai pukul 19.00 dibuka teatrikal Kardanis Muda Wijaya bertajuk Mirage dengan judul puisi “Umbu Wulang Landu Paranggi Lagu Tujuh Patah Kata”. Perwakilan Jatijagat Kampung Puisi, Wayan Jengki Sunarta, mengatakan Mahaguru Umbu Landu Paranggi adalah panutan di Jatijagat Kampung Puisi.
Bahkan sejak awal berdiri Jatijagat Kampung Puisi, Umbu selalu menemani dan membimbing mereka dalam berkesenian, khususnya sastra. Umbu yang memberikan nama Jatijagat Kampung Puisi yang bisa disingkat JKP ini.
“Beliau selalu menemani dan membimbing kami dalam berkesenian, khususnya sastra. Nama Jatijagat Kampung Puisi adalah pemberian beliau. Bagi kami beliau adalah sosok tak tergantikan. Jadi kami menggelar doa bersama ini untuk mengenang beliau. Semoga beliau damai di alam keabadian,” ujar Jengki.
Lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943, Umbu merupakan penyair sekaligus guru penyair. Ia juga mengasuh rubrik puisi dan sastra di Pelopor Yogyakarta dan rubrik apresiasi di Bali Post.
Puisi adalah kehidupan bagi Umbu dan sebaliknya kehidupan adalah puisi. Satu spirit yang penting ditanamkan oleh mantan Presiden Malioboro itu adalah “Tanam dan Taman”, yang artinya wajib menanam membiarkan apapun tumbuh di taman kita, baik gulma dan lain-lain itu hasil yang kita tanam.
Umbu menghargai semua benih yang tumbuh dan beliau tidak akan membabat. “Beliau adalah tukang kebun. Kayak kami ini di Jatijagat Kampung Puisi adalah taman yang isinya berbagai karakter, kita wajib menjadi tukang kebun bagi taman kita sendiri. Warisan beliau di JKP berupaya kami teruskan bukan hanya spirit sastra berkesenian tapi spirit menanam menciptakan taman memunculkan benih-benih baru bidang sastra berkesenian sehingga terjadi regenerasi,” ungkap Jengki.
Jengki menceritakan Umbu pindah ke Bali sejak tahun 1978. Sebelumnya menyempatkan ke Sumba dari Jogjakarta.
Setelah pada tahun 1979 mengasuh ruang apresiasi di Bali Post dua halaman. Pernyataan pertama esainya “Memanggil Remaja Kreatif” seperti yang diterapkan di Yogyakarta.
Dengan ruang sastra dua halaman di Bali Post, almarhum menggembleng dan membina remaja-remaja kreatif untuk menulis puisi, prosa lirik, cerpen, esai dengan kelas-kelas yang dia bikin. Ada klasifikasi kelas yang diciptakan Umbu.
Kelas Pawai bagi penulis pemula. Kalau sudah lolos masuk kelas kompetisi, selanjutnya disaring lagi kompetisi promosi dan kelas tertinggi pos budaya.
Kelas Pos budaya sekelas majalah sastra Horison. “Jadi cara beliau menggembleng membangkitkan kepercayaan diri generasi muda Bali waktu itu. Lewat rubrik Bali Post kami sering dikontak foto kami dipasang besar-besar. Kalau tidak pernah menulis lagi kita dikontak dengan kata-kata yang unik,” kenang Jengki. (Winatha/balipost)