JAKARTA, BALIPOST.com – Dalam mencegah potensi kecurangan (fraud) saat proses verifikasi klaim rumah sakit untuk kasus COVID-19, BPJS Kesehatan menerapkan sejumlah langkah. Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, proses penanganan klaim COVID-19 akan melibatkan sejumlah pihak di dalamnya.
Selain BPJS Kesehatan yang berperan melakukan proses verifikasi klaim yang diajukan rumah sakit, ada pula Dinas Kesehatan yang melakukan pembinaan dan pengawasan serta Kementerian Kesehatan yang berperan membayar klaim, pemberian uang muka dan menyelesaikan dispute klaim.
“BPJS Kesehatan bertugas melakukan verifikasi administratif, bukan verifikasi medis. Kami berupaya melaksanakan penugasan khusus ini secara transparan dan akuntabel dengan berpedoman terhadap regulasi yang berlaku sebagai alat ukur untuk memastikan klaim yang diajukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” kata Ali Ghufron melalui siaran pers dikutip dari kantor berita Antara, Minggu (11/4).
Ia menambahkan bahwa sampai dengan 6 April 2021, ada 629.911 klaim kasus COVID-19 yang diajukan oleh rumah sakit kepada BPJS Kesehatan dengan biaya sebesar Rp 39,22 triliun. Untuk itu diperlukan kehati-hatian, akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme dari masing-masing pihak dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk meminimalisasi terjadinya potensi fraud.
“Dalam penugasan khusus verifikasi klaim COVID-19, ada beberapa titik potensi fraud yang harus kita waspadai. Misalnya dari pasien, ada ketidaksesuaian identitas. Risiko fraud bisa ditemukan pada profil rumah sakit, kompetensi, sarana-prasarana, tata koding dan input klaim pada aplikasi,” tuturnya.
Ghufron mengatakan pihaknya berupaya meningkatkan efektivitas pengelolaan klaim COVID-19 melalui beberapa tahapan yang meliputi 1) prospektif dengan memastikan eligibilitas peserta, 2) concurent dengan memverifikasi klaim melalui logika verifikasi serta 3) retrospektif yaitu dengan meninjau kembali data klaim melalui dashboard monitoring evaluasi klaim.
“Hal ini tentunya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme yang didukung melalui proses digitalisasi dalam mempermudah proses dan memberikan akurasi hasil. Selain itu, dibutuhkan pula pengawasan dari aparat internal pemerintah, BPK, BPKP, KPK dan instansi lainnya. BPJS Kesehatan siap melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewenangan dan kapasitas kami,” imbuh Ghufron.
Menurut dia, ada sejumlah tantangan dalam mencegah fraud pada klaim COVID-19, seperti regulasi yang baru terbit setelah pelayanan diberikan kepada pasien, pemahaman terhadap regulasi yang belum sama, belum optimalnya kepatuhan terhadap regulasi dan kebijakan yang berlaku serta adanya pasien COVID-19 yang memiliki identitas lebih dari satu nomor dalam pengajuan klaim oleh rumah sakit.
“Upaya pencegahan fraud, kami juga lakukan melalui sosialisasi dan asistensi teknis kepada stakeholders. Dengan verifikasi by system dan menggunakan aplikasi khusus, kami berharap potensi fraud juga dapat dideteksi sedini mungkin. Kami mengharapkan komitmen rumah sakit untuk tertib administrasi dalam mengajukan klaim COVID-19. Kami juga berharap Dinas Kesehatan dan stakeholders terkait dapat memberikan dukungan dalam upaya menyelesaikan klaim dispute COVID-19,” tegas Ghufron.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Sadikin meminta BPJS Kesehatan menjalankan tugasnya dalam melakukan verifikasi klaim COVID-19 dengan optimal.
“Saya mengharapkan BPJS Kesehatan bisa melakukan pemeriksaan kewajaran klaim rumah sakit dengan sebaik-baiknya. Saya berterima kasih kepada seluruh masyarakat dan whistleblower yang bisa memberi masukan terhadap pelaksanaannya di lapangan untuk penyempurnaan ke depan,” kata Menkes Budi. (kmb/balipost)