Oleh IGK Manila
Kita tak tahu pasti apakah wacana impor beras oleh pemerintah betul-betul agenda pemerintah atau tindakan testing the water yang dilakukan oleh pejabat setingkat menteri. Atau bisa juga tindakan tersebut betul-betul semacam precaution atau tindakan preventif supaya tidak terjadi hal buruk terkait ketahanan pangan.
Dalam komunikasi publik, efek paling kentara adalah bagi para petani. Karena saat ini adalah masa panen raya (Maret-April 2021), wacana impor pemerintah dengan sendirinya menekan atau bahkan menjatuhkan harga padi karena terkait membanjirnya supply. Seiring dengan itu, para tengkulak akan lebih leluasa lagi menekan harga, meskipun impor sendiri masih sebatas wacana. Sehingga dari sisi ini, patut dipertanyakan kebijaksanaan menteri terkait sebagai representasi pemerintah.
Sementara itu, berdasarkan data yang dibeberkan Dirut Perum Bulog, hingga saat ini saja Bulog masih menyimpan sisa impor beras dari tahun 2018. Karena sudah masuk dalam kategori tahunan, dari segi kualitas beras tersebut sudah ‘mengkhawatirkan’. Cadangan Bulog sendiri mencapai 883.585 ton, di mana 859.877 ton adalah cadangan beras pemerintah (CBP) dan 23.708 ton stok beras komersial.
Singkat kata, wacana impor beras dari Kementerian Perdagangan pada dasarnya mengabaikan kepentingan petani sekaligus berpotensi sebagai langkah mubazir. Jika dihitung saksama, pihak yang jelas diuntungkan dalam hal ini adalah para pemburu rente, yakni importir dan mereka yang mendapat rejeki dari importir. Sedangkan soal stabilitas harga, yang menjadi alasan Kementerian Perdagangan misalnya, telah lama menjadi sekadar alat untuk pembenaran langkah impor.
Padahal, dalam pemikiran saya, impor beras adalah jalan terakhir ketika memang tak ada pilihan lain, seperti ketika cadangan beras dalam negeri terbukti akurat tidak mencukupi memenuhi pasokan dalam negeri untuk rentang waktu tertentu. Bahkan Bulog sebagai penjamin kecukupan bahan pangan wajib membeli padi petani dalam negeri berapapun harganya—satu kebijakan yang entah kenapa belum juga betul-betul terealisasi.
Beras Bali
Sebagaimana sentra pertanian padi lainnya, seperti Jawa Timur, Bali adalah salah satu wilayah penghasil padi yang sedikit banyak pasti terdampak impor beras di tengah panen raya saat ini. Bahkan bagi Bali, yang sudah terlebih dahulu mengalami kontraksi ekonomi yang amat dalam di sektor pariwisata, rencana impor akan memposisikannya bak pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”.
Kerugian yang dialami Bali karena belum pulihnya sektor pariwisata saja berkisar antara 9 sampai 10 triliun per bulan. Dan kini padi para petani Bali terancam dihargai para tengkulak atau pasar dengan rendah karena wacana pejabat pemerintah yang tidak sensitif dengan situasi dan kondisi rakyat.
Dari sisi supply, produksi padi di Bali pada dasarnya mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Sebabnya mulai dari berkurangnya lahan karena alih fungsi sampai dengan pertumbuhan pariwisata yang telah memaksa peralihan sumber daya seperti tenaga kerja dan alat-alat produksi. Meskipun tetap menghasilkan padi atau beras dalam jumlah yang signifikan di tengah kejayaan pariwisata, Bali pada dasarnya telah menjadi provinsi pengimpor beras dari propinsi lainnya. Namun ini tentu berbeda ketika kini jumlah wisatawan menurun sangat drastis.
Luas sawah yang panen di Bali pada 2020 diperkirakan tinggal sebesar 94.730 hektar, yakni turun sebanyak 589 hektar atau 0,62 persen dibanding tahun 2019 di mana luas sawah yang panen mencapai 95.319 hektar. Produksi padi di Bali pada tahun 2020 mencapai 570.319 ton gabah kering giling (GKG), yakni turun sebanyak 9.001 ton atau 1,55 persen jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai 579.321 ton GKG.
Jika produksi padi ini dikonversi menjadi beras konsumsi pangan, pada tahun 2020 produksi mencapai 319.978 ton. Jumlah ini turun sebesar 5.050 ton atau 1,55 persen dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 325.028 ton.
Masih terkait supply, data ketahanan pangan Bali tahun 2019 mencapai angka 81,92 persen, termasuk yang tertinggi dibanding wilayah lainnya di seluruh Indonesia. Akan tetapi perlu dicatat bahwa terdapat kontribusi cadangan pangan yang didatangkan dari daerah lain dan tidak sepenuhnya merupakan hasil produksi pangan lokal. Sebagai contoh, berdasarkan Survei Pola Distribusi Perdagangan Beras Tahun 2019, sekitar 52,41 persen beras yang didistribusikan di Bali berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Dari sisi demand, ketika kini kunjungan wisatawan turun drastis—di mana jumlahnya sangat besar—kebutuhan riil pangan di Bali juga secara disumsikan turun. Terkait beras, sebagai contoh, berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, konsumsi warga Bali dari April sampai Desember 2020 diprediksi mencapai 280.000 ton. Namun hasil panen petani lokal Bali pada periode yang sama mencapai kurang lebih 400.000 ton. Sehingga terdapat surplus sekitar 120.000 ton (Bali Post, 29/4/20).
Berdasarkan data per Maret 2021, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali menyatakan bahwa stok pangan pada dasarnya aman. Diperkirakan produksi gabah kering giling periode Januari-April 2021 akan mencapai 260.949 ton atau setara dengan 167.058 ton beras. Jika dihitung sampai masa panen berikutnya, konsumsi masyarakat di Bali adalah sebanyak 142.475 ton beras. Sehingga akan terdapat surplus beras sebanyak 24.584 ton.
Sementara itu, berdasarkan data dari BPS Provinsi Bali, proyeksi potensi produksi padi periode Januari-April 2021 mencapai 253.780 ton gabah kering giling. Jika dihitung rata-rata konsumsi beras penduduk Bali adalah 7,24 kg per kapita per bulan, maka potensi ketersediaan beras per kapita di Bali adalah 9,4 kg per bulan. Ini dengan asumsi nilai rendemen gabah 64,02 persen dan jumlah penduduk 4,32 juta jiwa.
Dari perhitungan sisi supply and demand jelas sekali bahwa Bali belum atau bahkan tidak memerlukan impor beras. Sehingga ketika pada bulan Maret 2021 ini Provinsi Bali akan mengalami masa puncak panen raya, sebagaimana di wilayah penghasil beras dominan lainnya, wacana impor beras bisa menjadi sumber masalah atau bagkan bencana bagi para petani.
Bahkan dalam konteks politik pembangunan Bali, wacana tersebut bertentangan dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Sesuai misi tersebut, pemerintahan daerah saat ini wajib menjalankan berbagai program yang menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya. Sebab dengan cara itulah apa yang disebut sebagai kehidupan krama dan gumi Bali yang sejahtera dan bahagia bisa diwujudkan. Selain memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, seperti pangan dan sandang, pemerintahan terpilih harus menunaikan janji bagi kemandirian pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertanian, dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Dalam konteks ini, tak bisa ditawar-tawar lagi betapa pemerintahan Provinsi Bali wajib membantu perekonomian rakyat dan petani. Dengan segala kewenangan dan peluang yang ada, seluruh pihak terkait, dengan didorong oleh segenap masyarakat sipil yang peduli, membangun dan mengembangkan suatu mekanisme pembelian beras petani.
Sebagai ujung tombak adalah Bulog yang secara jelas dan tegas—berdasarkan data-data yang valid dan terukur—menolak mengimpor beras yang justru memboroskan devisa. Bulog sebagai penyedia dan stabilisator harga difungsikan lebih bermartabat sebagai buyer, yang tidak saja akan memaksa para tengkulak supaya tidak main harga dan merugikan para petani tetapi juga menutup peluang para pemburu rente yang tak bisa dikatakan memiliki nasionalisme karena ulah mereka.
Penulis ubernur Akademi Bela Negara (ABN) dan Anggota merangkap Sekretaris Mahkamah Tinggi Partai NasDem