Umat hendak bersembahyang di Pura Jagatnatha saat Galungan pada 21 September 2020. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pandemi COVID-19 telah mengubah segala sektor tatanan kehidupan. Termasuk mengubah tatanan dan pola budaya, seperti upacara keagamaan di Bali. Namun, tidak merubah makna upacara.

Justru pandemi Covid-19 ini momentum bagi umat Hindu pada khususnya untuk meningkatkan penguatan kualitas yadnya, bukan kuantitas yadnya. “Yadnya sesungguhnya disesuaikan dengan kemampuan, dan perilaku jorjoran sedikit demi sedikit akan mampu kita kurangi. Pandemi Covid-19 sesungguhnya untuk upaya ini. Mau tidak mau kita mesti memahami bahwa pandemi mengajarkan kita untuk penguatan yadnya yang lebih berkualitas dan bukan saja kuantitas. Lebih pada pemaknaan yadnya yang beritual dan bukan festival,” tegas Akademisi Unhi Denpasar, I Kadek Satria, S.Ag., M.Pd.H., Jumat (9/4).

Dosen Filsafat Unhi Denpasar ini, menjelaskan bahwa yadnya adalah persembahan suci kepada Sang Pencipta, untuk kesejagatan dan kebaikan segala yang ada di dunai. Yadnya dilaksanakan sesuai dengan desa kala patra. Sehingga persembahan yang dilakukan didasarkan pada segala hasil alam yang dimiliki dan hasilkan. “Inilah kekuatan kita sebagai umat Hindu di Bali, dimana dalam pelaksanaan yadnya selalu berpedoman pada hasil alam. Karena kita memerlukan hasil alam untuk beryadnya, maka disanalah kita patut dan seharusnya memuliakan isi alam dengan menanam, memelihara dan mengembangkannya. Di lain hal kita memandang yadnya sebagai persembahan yang sederhana, dimana hasil alam yang kita peliharalah sarana persembahannya, sederhana bukan?” tandasnya.

Baca juga:  Dua Perangkat Desa Terlibat Kampanye Paslon Pilgub

Lebih lanjut, dikatakan, pelaksanaan yadnya mestinya harus dilakukan dengan tulus kepada sang pencipta. Sebab, ketulusan merupakan persembahan yang utama.

Sehingga, pemaknaan yadnya sebagai bentuk pengembalian keseimbangan perlu dibangun. “Selama ini kita beryadnya hanya pada pemenuhan keinginan untuk beryadnya besar, padahal pada pelaksanaannya mungkin saja jauh dari tujuan yadnya itu. Adalah keliru jika yadnya hanya digunakan sebagai pemuas atas harapan dan keinginan manusia yang tanpa batas, terlebih dari itu maka yadnya seharusnya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan bhakti umat atas segala anugerah yang diberikan oleh Tuhan,” ujarnya.

Oleh karena itu, pada tataran ini ketulusan dalam beryadnya menjadi penting dan mesti digelorakan ditengah persoalan pandemi yang merembet pada perekonomian masyarakat yang semakin tak menentu. Sehingga, seolah-olah yadnya dikatakan memiskinkan. Padahal tidak.

Sebab, beryadnya didasari atas tulus ikhlas. Sehingga, beryadnyalah sesuai dengan kemampuan agar tidak membuat efek lain seperti dinyatakan pemiskinan.

Kadek Satria, mengatakan bahwa pandemi pada dasarnya upaya alam untuk menguji diri manusia. Di sini manusia khususnya umat Hindu di Bali dihadapkan pada berbagai persoalan.

PHK, berbagai penyakit yang muncul, rendahnya perputaran di berbagai sektor, persoalan kriminal dan lain-lain sesungguhnya cukup menyadarkan kita untuk kembali kepada jati diri. Sebab, jati diri utama sesungguhnya lebih luhur. “Jika berpedoman dari hakikat itu, maka kita mesti melakukan yadnya dengan dasar keyakinan dan kerja baik kita. Berbagai persoalan hidup yang ada adalah mengajarkan agar kita lebih memahami hidup, bukan bersandiwara atas kekurangan kita. Maka pada titik ini pandemi telah banyak memberikan kita pelajaran bahwa kita mesti kembali pada jati diri kita agar beryadnya sesuai dengan kemampuan dan bukan pada keinginan yang hanya sekedar besar, tetapi tanpa makna,” tandasnya.

Baca juga:  "Mystical of Gorga" Raih “The Best National Costume” di Vietnam

Lebih jauh, dikatakan bahwa pandemi mengisyaratkan bahwa kita mesti memulai dari kesadaran akan pentingnya segala isi alam untuk kepentingan yadnya. Jika dicermati, pelaksanaan yadnya di saat pandemi berlangsung dengan pengurangan waktu.

Tak Berarti Kualitas Menurun

Namun, tidak berarti kualitas yadnya menurun. Kualitas yadnya sesuai dengan dasar keyakinan bahwa yadnya sebagai salah satu upaya bernegosiasi dengan alam, sehingga kita sampai pada point yadnya, yaitu memuliakan alam.

Yadnya sebagai upaya mengubah energi negatif menjadi positif. Yadnya berubah dari Rajasika Yadnya (jor-joran) menjadi Satwika Yadnya yang mengetengahkan pada keutamaan Yadnya.

“Ternyata pandemi menjadi penyeimbang kesadaran dan penguatan keyakinan kita sesungguhnya. Yadnya adalah pertimbangan atas konsep Wahya Dyatmika. Artinya, jika menuju yang niskala dengan cara baik, maka sekalanya dulu mesti baik. Mari maknai yadnya sebagai persembahan suci, bukan hanya pengorbanan suci,” tandasnya.

Baca juga:  Disdikpora Denpasar Rencanakan Rehab Tujuh Sekolah

Sementara itu, Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Geria Agung Sukawati, mengajak umat Hindu untuk memaknai hari suci Galungan di tengah pandemi ini sebagai pondasi ‘menajamkan’ pikiran untuk mengalahkan/miniadakan mental blok yang selalu menghalangi pikiran untuk menjadi pemenang dalam mengarungi kehidupan. Umat Hindu jangan hanya terjebak kepada sarana banten saja.

Sarana banten mesti ada, namun sangat sederhana. Sebagaimana yang tersurat dalam Lontar Sundarigama hanya tumpeng pengambeyan, penek soda ajuman, sedah woh, kembang payas, pesucian dan iwak jejatah Bawi (Babi).

“Sangat sederhana, bukan jor-joran sampai menghabiskan dana puluhan juta, untuk apa? apalagi masih dalam masa pandemi ini. Yang terpenting bagaimana dalam hari suci bisa melakukan atau berhubungan dengan sang pencipta melalui jalan menyerahkan diri atau ‘dyana’ sebagai ‘kaula-Nya’ dan selalu pikiran dan tindakan kita menjalankan kebaikan ‘angitung dharma’ dalam kehidupan yang penuh perjuangan ini dalam rangka menjadi pemenang bukan pecundang, tergantung kita ‘aviram prtana asaham’,” ujar Ida Pandita. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *