Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Pandemi COVID-19 dan industri pariwisata bagai dua hal yang memang saling bertolak belakang. Di satu sisi industri pariwisata membutuhkan mobilitas tinggi orang sebagai wisatawan, sementara pandemi COVID-19 justru mengharuskan orang sebagai warga masyarakat untuk membatasi pergerakannya sebagai upaya memutus rantai penularan COVID-19.

Situasi ini menjadi dikotomi yang harus dihadapi dan diatasi oleh para pelaku industri pariwisata, agar kegiatan pariwisata dapat tetap berlangsung, Bukan hal mudah untuk menjalankan situasi dikotomi ini. Wisatawan merasa harus waspada terhadap kemungkinan terimbas penularan Covid-19, sementara industri pariwisata harus menjamin tidak akan terjadi penularan virus Covid-19 pada destinasi dan produk wisata yang dikelolanya.

Bali yang selama ini perekonomiannya banyak bertumpu pada industri pariwisata, tidak luput dari kondisi dikotomi tersebut. Ekonomi Bali mengalami kontraksi cukup dalam akibat kondisi ini. Pariwisata Bali bagai berselimut kabut, serba remang-remang karena tidak jelas kapan situasi pandemi Covid-19 ini berakhir. Sementara perekonomian harus tetap berjalan.

Baca juga:  Pesan Hilirisasi Budaya Mpu Tanakung

Sejak industri pariwisata menjadi roda penggerak utama perekonomian Bali, memang telah terjadi perubahan paradigma atas potensi dan karakteristik Bali. Semua agenda pembangunan Bali seakan ditumpahkan pada sektor pariwisata, tanpa melihat backward/sektor belakang dari pariwisata.

Kita seakan lupa bahwa industri pariwisata sebenarnya adalah suatu sektor by product bukan by design. Industri pariwisata hanyalah akibat lebih lanjut dari potensi dan karakteristik yang dimiliki Bali.

Pariwisata Bali adalah bonus resultan antara pesona kebudayaan krama Bali sebagai cultural heritage/pusaka budaya dalam tatanan kehidupan agraris yang dibalut agama Hindu Bali, dengan keelokan bentang alam Bali sebagai natural heritage/pusaka saujana.

Living culture heritage adalah modal utama krama Bali dalam pariwisata. Peradaban dan kekerabatan yang termanifestasi dalam keseharian kehidupan krama Bali berupa bangunan pura, ritual, seni dan komunitas krama, adalah pusaka budaya (cultural heritage) Bali. Sedang budaya pertanian krama Bali dalam balutan agama Hindu Bali yang terwujud dalam keelokan bentang alam Bali adalah pusaka saujana (natural heritage) Bali.

Baca juga:  Pajak, Pemutus Lingkaran Tak Berujung

Kita harus menakar kembali potensi dan karakteristik pariwisata Bali guna menjaga keistimewaan yang terkandung dalam cultural heritage maupun natural heritage Bali agar tetap lestari. Langkah komprehensif, berkesinambungan, dan konsisten; harus dilakukan dalam anatomi tatanan tradisi sosial-budaya krama Bali, berlandaskan filosofi Tri Hita Karana.

Sehingga tidak salah jika dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19 ini Menparekraf Sandiaga Uno tidak lagi memasang target jumlah wisatawan yang hadir di Indonesia. Namun target wisatawan akan diubah dari quantity menjadi quality wisatawan. Tidak hanya mengandalkan wisatawan asing, namun lebih mengandalkan wisatawan domestik (wisdom).

Paradigma baru pariwisata ini dapat dimengerti karena situasi pandemi Covid-19 mewajibkan para wisatawan pelintas batas negara, untuk melakukan karantina mandiri selama beberapa hari pada saat masuk ke suatu negara; sebelum bisa melakukan aktivitas wisatanya. Bisa dibayangkan berapa kebutuhan biaya dan waktu ekstra, sebelum mereka bisa berwisata.

Wisdom harus menjadi andalan dan tulang punggung pariwisata Indonesia. Harus dilakukan replacement value terhadap wisatawan. Pariwisata Bali harus berubah menjadi lebih personalized, customized, localized, dan smaller size, Tidak boleh lagi ada pariwisata massal. Semua harus serba berkualitas serta sesuai carrying capacity destinasi wisatanya.

Baca juga:  Mencegah Degradasi Pariwisata Bali

Selama ini ada kecenderungan krama Bali kurang menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki heritage bercita rasa tinggi sebagai potensi dan karakteristik manifestasi peradaban Bali yang adiluhung. Situasi ini lebih dikarenakan semua heritage hasil peradaban krama Bali tersebut telah hadir dan berlangsung dalam keseharian kehidupan krama Bali sejak mereka lahir.

Paradigma baru pariwisata Bali harus dirumuskan, guna menyibak halimun yang menyelimuti pariwisata Bali akibat pandemi Covid-19. Utamanya terkait kualitas wisatawan, agar pariwisata Bali dapat didudukkan kembali pada marwah potensi dan karakteristik Bali. Bali hakikatnya adalah berwujud pesona adat-budaya krama Bali dalam keelokan bentang alam Bali.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *