DENPASAR, BALIPOST.com – Baru dua bulan menjadi Bendesa Adat Kesiman, Jro Ketut Mangku Wisna bersama prajuru anyar sudah melakukan gebrakan. Yaitu membersihkan Kesiman dari aliran sampradaya atau disebut Non-dresta Bali.
Penutupan Ashram Krisna Balaram di kawasan Padanggalak adalah titik awal penyelamatan dresta adat di Kesiman. Prajuru dikatakan Wakil Bendesa Adat kesiman alias Petajuh Bidang Parahyangan, I Gede Anom Ranuara, S.Pd., S.Sn., M.Si., Senin (19/4), sedang membidk lokasi lain yang dijadikan tempat beraktivitas berbau sampradaya non-dresta Bali.
Ia menegaskan pihak desa adat kini bersikap tegas terhadap upaya penyelamatan dresta Hindu Bali. Desa adat menduga masih ada ashram kecil dengan aktivitas yang sama berjalan secara diam-diam di kawasan Padanggalak. Lokasinya masih dirahasiakan dan segera ditertibkan.
Apalagi secara lembaga, mereka tak terdaftar di desa adat dan pengikutnya adalah orang luar Denpasar. “Mereka tak tercatat sebagai krama wed atau krama ngempi di Kesiman,” sebutnya.
Makanya Gede Anom yang akrab dipanggil Guru Anom ini menegaskan Kesiman akan menjadi percontohan soal penegakan dan penyelamatan kehidupan beragama dan dresta di Bali dengan menutup lokasi dan aktivitas sampradaya atau non-dresta Bali.
Langkah ini adalah amanah Perda Desa Adat no.4 tahunn 2019 dan Keputusan Bersama MDA dan PHDI Bali. Di sana disebutkan desa adat memiliki otonomi penuh mengatur kehidupan warganya, termasuk menjalankan keamanan berbasis desa adat.
Ia mengatakan aktivitas Ashram Krisna Balaram ini mengancam eksistensi dresta yang dibungkus dengan konsep Kahyangan. Dua tatanan ini sangat dihargai di Bali dan sudah berlangsung damai. “Jika sampai ajaran ini berkembang dan umat diajak jauh dengan Pura, siapa lagi yang akan nyungsung dan menjadi pengempon pura khayangan tiga di Bali,” ujarnya.
Kedua, prosesi ngarebong sebagai simbol kuatnya dresta adat dan agama di Kesiman kini diakui negara sebagai warisan budaya bangsa. Dresta Bali ini harus diselamatkan karena nilainya jauh lebih penting daripada membiarkan Ashram ini beroperasi.
Ia mengutarakan keberadaan Ashram ini sudah banyak dilaporkan warga beberapa tahun lalu namun lambat direspons. Puncaknya empat hari lalu, anggota Ashram ini meminta izin menggunakan Setra Gandamayu milik desa adat untuk upacara ngaben atau kremasi ala sampradaya. “Saat itu juga prajuru menolak. Aksi.ini dilanjutkan dengan penutupan Ashram itu pada Minggu (18/4),” jelas Guru Anom.
Selanjutnya, kata pria yang dikenal sebagai seniman topeng, arja, dan dalang tersebut, pihaknya akan memantau semua aktivitas ashram. Sambil menyelidiki kemungkinan masuknya aliran sampradaya lain di sepanjang pingggir Sungai Ayung hingga Pura Campuhan Padanggalak. (Sueca/balipost)