Ketut Netra. (BP/Istimewa)

Oleh Ketut Netra, S.H.,M.Kn

Peringatan tokoh emansipasi perempuan Indonesia R.A. Kartini diperingati setiap 21 April. R.A. Kartini lahir di Jepara tahun 1879 dari seorang Ibu M.A. Ngasirah dan ayahnya RM. Adipati Ario Sosrodiningrat, Bupati Jepara waktu itu. Sebagai wanita pribumi, Kartini merasa tidak punya kebebasan. Hanya tamat Sekolah Dasar yang ketika itu disebut ELS (Eurepese Lagere School).

Wanita pada zaman itu dipingit. Falsafah Jawa yang berkembang pada zamannya, wanita hanya sebagai konco wingking yaitu wanita setelah menikah cukup melayani suami, hanya di belakang dan di dapur.

Kartini melawan, bagaimana agar kaum perempuan mempunyai kebebasan, punya hak yang setara dengan laki-laki. Berjuang melalui tulisan-tulisan dan mendidik anak-anak dan mendirikan sekolah putri. Karena kegigihannya memperjuangkan kaum perempuan, ternyata dapat dijadikan teladan. Kemudian jasa perjuangan Kartini dapat dirasakan di masa kini. Selayaknya Presiden Soekarno menobatkan Kartini sebagai pahlawan nasional pada 2 Mei 1964.

Baca juga:  Menunggu Penjabaran PPDB 2019

Ibu Kartini sudah bangga di alam sana. Karena perjuangan beliau berhasil. Perjuangan agar kaum perempuan menikmati hak-hak dasarnya, mempunyai kesetaraan di bidang sosial, politik dan hukum dengan kaum laki-laki. Hasilnya telah dapat dirasakan. Di masa kemerdekaan saat ini tidak sedikit perempuan yang telah menduduki jabatan tinggi. Sebagai presiden, bupati, politikus, profesional dan sebagainya.

Sejak Indonesia merdeka, sampai sekarang ada beberapa peraturan perundangan yang mendukung cita-cita Kartini. Peraturan perundangan itu memuat hak azasi manusia, persamaan derajat. Yang termuat dalam Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang dan Keputusan Presiden. Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 antara lain tertulis persamaan hak antara pria dan wanita. Pasal 28 menyebutkan setiap orang bebas dari perlakukan diskriminatif.

Baca juga:  Hari Kartini, Khusus Voucher Service 20% Untuk Konsumen Wanita

Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM pada pasal 1 dan 3 antara lain disebutkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dilarang. Demikian juga dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam pasal 3 disebutkan, azas Undang-undang KDRT adalah penghormatan hak azasi, keadilan dan kesetaraan gender.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Antara lain disebutkan dalam perkawianan campuran antara wanita Indonesia dengan pria asing. Wanita Indonesia boleh memilih kewarganaraannya. Meskipun dalam hukum suami ditentukan harus memilih kewarganegaraan suami. Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Pertimbangan undang-undang ini dibentuk karena tindak pidana ini bertentangan dengan kebebasan dan hak azasi manusia.

Baca juga:  Refleksi Hari Kartini, Semakin Banyak Perempuan Alami Kekerasan dan Terjerat Narkoba

Kemudian dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu. Dalam pasal undang-undang ini ada antara lain dirumuskan bentuk diskriminasi positif (affirmative action) yaitu kaum perempuan Indonesia diberikan kuota 30% di ranah politik Indonesia. Yang terakhir dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender. Desebutkan antara lain agar pemerintah dalam kebijakannya meniadakan diskriminasi.

Dari semua peraturan perundangan tersebut pada prinsipnya mendukung cita-cita Kartini yaitu melawan hegemoni, yang menganggap perempuan lebih rendah. Dan menentang paradigma developmentalisme, yang menganggap kaum perempuan tidak berpartisifasi dalam pembangunan.

Penulis, pensiunan jaksa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *