Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Ngurah Weda Sahadewa

Kemampuan seorang perempuan di masa sekarang ini dituntut sedemikian rupa sampai kepada peran ganda ataupun lebih dalam memberikan kontribusinya untuk menyelesaikan ataupun membantu menyelesaikan persoalan yang ada. Ketika seorang perempuan di hari emansipasinya menunjukkan diri sebagai sosok yang mampu menjadikan orang di luar dirinya bangkit dari keterpurukan menandakan bahwa tugas perempuan semakin kompleks.

Oleh karena itulah penting untuk diperhatikan bagaimana kebudayaan dapat memberikan suatu pencerahan baru di atas posisi eksistensi perempuan yang semakin kompleks itu. Salah satunya yang dapat dimajukan terkait dengan tulisan ini adalah bagaimana kekuatan esensial dalam Tri Sakti yang dalam terminologi kefilsafatan Hindu memuat suatu bentuk kekuatan esensial yang diejawantahkan ke dalam Dewi Saraswati, Dewi Laksmi atau dikenal juga dengan Dewi Sri, dan Dewi Durga ataupun Parwati.

Ketika masyarakat disibukkan dengan pelaksanaan kebudayaan yang juga kompleks terlihat ada sesuatu yang terlupakan yaitu bagaimana kebudayaan dapat menyerap suatu tatanan nilai kefilsafatan keagamaan ataupun religius dengan jalan menembus batas yang sejauh ini sudah dilakukan sehingga pembacaan atas modernitas menjadi selalu terbarukan.

Baca juga:  Hapus Stigma, WBP Perempuan Harus Berdaya Guna Ekonomi

Pada saatnya nanti akan terbukti bahwa jika sosok keperempuanan dalam diri Tri Sakti itu menunjukkan bahwa kekuatan perempuan ataupun sekarang lazim dikenal pula istilah feminin sebenarnya belumlah tuntas untuk dibahas ataupun dikaji untuk memberikan penerangan yang sejelas-jelasnya atas kondisi terkini dan kemungkinan di masa depan atas eksistensi perempuan itu.

Ketika dunia keperempuanan diberikan kejutan luar biasa atas munculnya feminisme maka banyak pihak merasa perlu untuk menjadikan hal tersebut sebagai bahan kajian penting dalam rangka meningkatkan kualitas hidup perempuan. Namun di sisi yang lain pelaksanaan yang sudah ada atas kebudayaan setelah berlangsung sekian lamanya kiranya memberikan juga dimensi penolakan sekalipun diantaranya bersifat terselubung dalam berbagai hal.

Baca juga:  Rangda Nateng Dirah

Oleh karena itu, sekian lamanya perlu proses yang tidak sederhana mengingat adanya berbagai justifikasi terselubung di balik bentuk-bentuk pelaksanaan kebudayaan itu sehingga menjadikan peluang berproses merealisasikan Tri Sakti yang esensial menjadi sedikit terhambat. Oleh karenanya pula patut untuk dikedepankan bagaimana konsep Tri Sakti itu menjadikan perempuan terbantukan untuk menemukan esensi ataupun jati dirinya.

Perlu diketahui ketika isu-isu hak asasi bagi perempuan itu mencuat, maka budaya patriarkhilah yang paling di depan terkena kritik dekonstruktifnya untuk sesegera mungkin mengevaluasi dirinya sendiri ke dalam konteks dan aktualitasnya yang paling memungkinkan dalam memberikan penghargaan atas diri manusia itu sendiri termasuk di dalamnya tentu adalah perempuan itu sendiri.

Dikotomi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan seyogyanya dimengerti sebagai bentuk kesatuan yang bersifat spiritual sebagaimana dalam Tri Sakti itu. Konsekuensinya tidak terjadi dikotomi melainkan sebuah kesatuan yang murni sebagai bentuk manusia dengan berbagai persamaan dan perbedaannya sedemikian rupa sampai pada suatu kesimpulan akhir bahwa laki-laki dan perempuan adalah satu bahkan hal inipun dicapai dalam filsafat Arda Nareswari.

Baca juga:  Nelayan dan Perempuan Lombok Tengah Dilatih Manfaatkan Teknologi Digital

Tri Sakti sebagai ketentuan keilahian sekiranya dapat dibahasakan secara lebih kontekstual dan aktual dengan dasar kebenaran bahwa manusia entah laki-laki ataupun perempuan sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh aspek-aspek feminin juga yang berarti pula Ketuhanan pun dalam pengertiannya yang murni selalu memberikan pertimbangan penting atas kekuatan feminin (sakti) dari hakikat ketuhanan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan secara serius terhadap masa depan perempuan di tengah kemelut serta dekonstruksi di berbagai bidang kemajuan teknologi dewasa ini dengan dikenalnya fase disrupsi dalam teknologi.

Staf Pengajar Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *