Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Ngurah Weda Sahadewa

Ketika dharma dipergunjingkan, maka yang terjadi adalah dharma bergerak secara dinamis untuk memberikan penerangan spiritual. Namun jika dharma dibicarakan, maka dharma bergerak secara aerodinamis untuk menunjukkan bagaimana kekuatannya memberikan pencerahan akan kebenaran (satya).

Ketika pada akhirnya dharma dilaksanakan maka yang terjadi tidak lain daripada kebenaran (satya) itu sendiri diupayakan untuk dapat terjadi dan itulah sebuah kebenaran tertinggi yang juga merupakan dharma tertinggi pula. Saatnya untuk mengevaluasi secara kritis bagaimana dharma itu bekerja?

Ketika manusia sudah mencapai tahap tertentu dalam hidupnya, maka yang terjadi adalah kepasrahan itulah bhakti. Bhakti atau kepasrahan tertinggi otomatis sebagai bentuk tertinggi dalam melaksanakan dharma. Itulah sebabnya Sri Krishna menjadikan bhakti sebagai bentuk terakhir untuk mencapai Tuhan atau esensi diri-Nya sendiri dalam rangka mengenali bagaimana hidup itu mesti dijalankan atas dasar dharma yang tertinggi pula. Manakala ketuhanan itu menjadi sasaran pokok dalam hidup manusia, maka orang Bali sejak dulu sudah menunjukkan adanya bhakti yang tulus ke hadapan Hyang Widhi Wasa.

Baca juga:  Penelusuran Covid-19 Terstruktur, Masif, dan Sistemik

Kenyataan itu sudah mendarah daging dahulunya ketika semua komponen hidup mendukung ke arah itu. Namun semua itu bukanlah suatu kenangan melainkan sebuah fakta sejarah yang patut untuk dikenang dalam pengertian dilaksanakan spiritnya ke dalam konteks dan aktualitasnya yang semakin kompleks di era yang katanya sekarang sudah mengalami suatu kemajuan keilmuan dan teknologi itu.

Jika kemudian seseorang yang berupaya keras dan cerdas untuk melaksanakan dharma itu maka tak pelak seseorang tersebut pasti menemukan suatu ketentuan Tuhan yang sekiranya muncul secara otomatis pula. Ini berarti evaluasi kritis atas dharma itu bekerja akan memunculkan sebuah pengertian yang dapat memberikan kesadaran baru dalam diri seseorang itu bahwa kekuatan dharma bukan semata-mata pada kekuatan politis praktis apalagi sekedar untuk kekuasaan bahkan kekuasaan dalam bidang keagamaan juga.

Baca juga:  Dilema Belajar di Sekolah Era Adaptasi Kehidupan Baru

Inilah kemudian menjadikan evaluasi kritis itu memiliki makna yaitu pertama, bahwa dharma bekerja sebagai bentuk tabungan yang khusus dalam pengertian suatu tabungan yang menjadikan manusia sadar atas kemampuan dirinya karena dharma itu bekerja dengan memberikan pembuktian berupa karma. Itulah philosopy of action yang mengajarkan orang dapat mengukur dirinya melalui kerja. Oleh karena itu agaklah aneh jika ada orang Bali sekarang yang tidak mau bekerja hanya karena semata-mata misalnya gengsi atau harga diri bukan karena sebuah panggilan dharma untuk menambah tabungan dharma itu sendiri.

Kedua, aneh pula jika leluhur orang Bali yang semangat bekerja tinggi akhirnya tereduksi dengan semangat dalam mencapai kenikmatan sesaat untuk memperoleh kesenangan seperti tajen dan semacamnya yang sebenarnya inti persoalannya bukan di sana. Oleh karena itu kerja dari dharma bukanlah semata-mata sebagai sebuah kesenangan belaka melainkan sebuah pemerolehan pengetahuan dan itulah disebut jnana. Ini sebenarnya salah satu pesan penting dari Swami Vivekananda seorang filsuf India Modern yang mengemukakannya dalam buku Karma Marga/Yoga.

Baca juga:  Cakra Yadnya, Pemutar Ekonomi Bali

Pesan final dari pemikiran Vivekananda itu adalah bagaimana orang menemukan dharma kalau orang tidak berkenan untuk berupaya. Inilah salah satu bentuk tabungan dharma yang mesti dimanifestasikan ke dalam bentuk pertanggungjawaban manusia kepada bagaimana agar minimal dirinya dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri dulu dan tentu dalam konteks ini maka aktualitasnya pemerintah juga turut memberikan pertanggungjawabannya sebagai suatu guru wisesa dalam mencerahkan kehidupan rakyat untuk dapat melakukan tabungan dharma itu.

Penulis, Staf Pengajar Fakultas UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *