Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Pandemi Covid-19 telah menguji kembali eksistensi kemandirian ekonomi Bali. Ternyata, ekonomi Bali memang tidak mandiri dan begitu banyak tergantung pada faktor dari luar. Rapuh dan terkulai saat menghadapi dampak pandemi Covid-19, yang membuat pariwisata Bali bak mati suri akibat tidak ada wisatawan (utamanya mancanegara) yang datang ke Bali.
Sehingga tidak salah jika Prof. Dr. I Wayan Kun Adnyana, S.Sn., M.Sn.

Rektor ISI Denpasar, menyatakan bahwa harus didesain solusi bertahan dari pandemi, ketimbang terus berharap dan tergantung pada pulihnya sektor pariwisata (Bali Post,3/4). Bali harus beradaptasi atas tekanan ekonomi ini dengan melakukan olah kreatif dan inovatif. Otokritik harus dilakukan.

Ekonomi Bali selama ini sangat bergantung pada sektor pariwisata. Terpuruknya sektor ini tecermin dari angka pertumbuhan kumulatif 2020 ekonomi Bali sebesar minus 9,31 persen, jauh lebih rendah dibanding angka nasional sebesar minus 2.07 persen. Rentannya ekonomi Bali adalah akibat terlalu bergantung pada sektor industri pariwisata yang merupakan sektor tersier.

Baca juga:  Physical Activity: Transformasi SDM Indonesia

Pada dasawarsa 70an perekonomian Bali masih dihela oleh lokomotif sektor pertanian dan kebudayaan yang merupakan sektor primer dan sekunder. Industri pariwisata sebagai sektor tersier mulai merambah Bali secara dominan sejak era tahun 2000. Kemilau dolar yang dibawa wisatawan mancanegara kemudian mulai mengubah struktur ekonomi Bali.

Jati diri ekonomi Bali adalah berkarakter kemitraan, bukan persaingan. Hal ini tecermin dalam keseharian kehidupan krama Bali yang selalu dalam aura semangat manyamabraya. Sikap komunal penuh kemitraan dalam balutan tatanan anatomi tradisi sosial-budaya krama Bali yang berlandaskan filosofi keseimbangan Tri Hita Karana.

Ekonomi kebudayaan menjadi esensi tatanan perekonomian Bali. Teori ekonomi Barat tidak boleh begitu saja menjadi landasan pembangunan ekonomi Bali. Harus ada landasan budaya dalam setiap gerak perekonomian Bali. Kemandirian ekonomi Bali harus dibangun sesuai struktur sosial-budaya krama Bali.

Penataan kembali ekonomi Bali yang terdampak pandemi Covid-19, tidak dapat dilakukan dengan mengabaikan perilaku budaya krama Bali. Karena pada dasarnya setiap pembangunan ekonomi masyarakat akan berdampak pada struktur ekonomi masyarakat itu sendiri. Hal ini sekaligus sebagai upaya menjaga kemandirian ekonomi Bali di masa depan.

Baca juga:  Guru, Berbagi dan Empati

Diperlukan mitigasi ekonomi kebudayaan Bali secara rinci dalam tahapan yang jelas dan dijabarkan dengan terukur serta menggunakan pendekatan yang tepat, sesuai dengan struktur sosial-budaya krama Bali. Hal ini merupakan bagian dari risk management (manajemen risiko) yang harus disiapkan Bali dalam menjaga marwah budaya dan peradaban Bali.

Mitigasi ini diperlukan guna menata kembali struktur perekonomian Bali agar pada akhirnya tercipta manajemen dan tata kelola ekonomi Bali yang mandiri sebagaimana yang kita harapkan. Seperti yang diminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahwa Bali harus melakukan diversifikasi struktur perekonomian, Bali Post (10/4).

Hal itu dikemukakan Sri Mulyani mengingat Bali mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih dalam dari nasional. Pemerintah mendorong akselerasi pemulihan ekonomi Bali dalam jangka pendek. Namun Bali tetap harus mengobati diri dengan diversifikasi struktur ekonominya untuk menjaga ketahanan dan keberlanjutan ekonomi Bali di masa datang.

Baca juga:  Sensus Penduduk dan Arah Pembangunan Bangsa

Secara garis besar mitigasi ekonomi kebudayaan Bali dapat diawali dengan menyiapkan infrastruktur penunjang pariwisata sesuai kondisi pandemi Covid-19. Kemudian berlanjut dengan melakukan diversifikasi wisata minat khusus, budaya, dan kuliner. Serta ditutup dengan menyempurnakan tatanan rantai pasok ekonomi kebudayaan krama Bali.

Mitigasi ekonomi kebudayaan Bali menjadi langkah realistis bagi seluruh stakeholders ekonomi dan budaya. Kemandirian, ketahanan, dan keberlanjutan ekonomi Bali akan lebih mudah dibangun melalui optimalisasi social capital (modal sosial) sesuai kearifan lokal (local genius) krama Bali, dalam balutan tatanan anatomi tradisi sosial-budaya krama Bali.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *