I Kadek Darsika Aryanta. (BP/Istimewa)

Oleh I Kadek Darsika Aryanta

Tepat tanggal 2 Mei di Indonesia diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Tanggal ini merupakan tanggal kelahiran dari Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara.

Beliau memiliki jasa dalam menciptakan metode pendidikan khas tanah air misalnya Tringa, Trina, Ing-ing-tut, konsep Pondok Paguron, Tripusat, pendidikan semesta dan mencetuskan mencipta metode Among. Beliau memperjuangkan konsep pendidikan yang egaliter, demokratis, nasionalis, religius dan fonemik.

Dalam perjuangannya terhadap pendidikan bangsanya, Ki Hajar Dewantara mempunyai Semboyan yaitu Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik).

Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita. Selain itu, untuk memaknai pendidikan secara filosofi sebagai upaya memerdekakan manusia dalam aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), dan batiniah (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).

Indeks pendidikan di Indonesia dengan negara ASEAN pada tahun 2017 menempatkan Indonesia berada di urutan ke-4. Selain itu juga indeks daya saing global Indonesia dan negara-negara ASEAN pada tahun 2019 Indonesia memiliki urutan ke-6 dari 9 negara di ASEAN.

Baca juga:  Hari Pendidikan Nasional Juga Dirayakan di Tokyo

Hal ini menunjukkan bahwa indeks pendidikan di Indonesia masih perlu ditingkatkan lagi sehingga diperlukan langkah langkah revolusioner dan mendasar agar pendidikan yang ada di Indonesia bisa menjadi lebih maju.
Fenomena ini dapat dilihat dari hal media sosial yang sedang ngetrend sekarang yaitu TikTok.

Baru-baru ini seorang Tiktoker membuat beberapa konten bertanya kepada anak-anak. Pada salah satu episode dia bertanya kepada anak tentang kepanjangan dari SD.

Hampir semua anak yang ditanya tidak tahu apa kepanjangan dari SD tersebut. Kita sebagai kaum dewasa yang notabene adalah digital imigran mungkin belum sadar bahwa zamannya sekarang sudah berubah.

Pada zaman sekarang ini anak pertama kali lahir sudah familiar dengan lagu baby shark, media sosial yang semakin merebak dan banyak profesi baru yang mungkin belum ada menjadi ada. Namun banyak paradigma di sekolah yang belum berubah dari 30 tahun yang lalu.

Sekolah masih berorientasi pada keberhasilan anak diukur dengan hafal materi pembelajaran. Pengajaran antaranak disamakan dan berfokus pada kemampuan akademik saja. Terlihat bahwa indikator seorang anak dikatakan pintar kalau bisa menjawab soal hafalan.

Baca juga:  Bergerak Bersama Wujudkan SDM Bali Unggul Sesuai Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali

Lalu untuk apa sekolah jika keberhasilan seorang anak diukur dengan hafalan konten? Jangan-jangan perkataan anak SD tentang sekolah dihapus adalah isyarat bahwa sekolah sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang.
Hal yang dibutuhkan sekarang ini adalah sekolah perlu melakukan refleksi.

Refleksi yang dimaksud adalah bagaimana kita memberikan otokritik kepada mereka kita sendiri agar membantu anak belajar sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Bagaimana membuat personalisasi belajar untuk anaknya belajar untuk menumbuhkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan pada setiap anak belajar.

Bagaimana merancang sebuah pameran karya, belajar agar orang tua guru dan kepala sekolah bisa saling berkolaborasi. Apakah sekolah sudah membantu murid siap menghadapi tantangan zaman? Apakah setelah bersekolah murid memiliki kompetensi yang diperlukan dalam kehidupan?

Sampai saat ini sekolah di Indonesia belum menjadi tempat menyenangkan bagi siswa. Terlebih di masa pandemi ini sistem pembelajaran konvensional berupa tatap muka ditiadakan diganti dengan pembelajaran online.

Siswa sekolah menjadi beban orang tua dan hilangnya hubungan emosional antara pendidik dan peserta didik secara langsung. Beberapa perubahan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah yang menciptakan lingkungan yang lebih positif dan etis.

Baca juga:  Bupati Gede Dana Pimpin Upacara Hardiknas, Lanjutkan Gerakan Merdeka Belajar

Salah satu hal konkret yang dapat dilakukan adalah membuat layout sekolah dibuat yang berbeda dari susunan bangku tidak harus biasa-biasa saja dibuat dengan melingkar bisa dengan model ubahkan boleh belajar di bawah atau di luar kelas. Perubahan yang kedua adalah pembelajaran yang relevan dan kontekstual pembelajaran di sekolah umumnya bahasa berupa teks dan tidak punya kemerdekaan untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang sesuai pada konteksnya. Perubahan ada yang ketiga adalah pada school connected.

Kurikulum yang dibuat tidak boleh terpisah dengan masyarakat. Pendidikan anak-anak harus melibatkan guru, orangtua, dan masyarakat. konsep ini sebenarnya sudah ada tapi biasanya dipakai pada sekolah swasta yang bayarnya lebih mahal.

Sedangkan dalam pembelajaran di sekolah negeri masih belum terbiasa dengan hal tersebut. Pada perubahan yang keempat adalah penumbuhan karakter anak salah satu yang di atas adalah pola pikir anak-anak misalnya siswa rutin diajak membahas nilai dari sebuah kebaikan, membuang sampah tidak sekadar diminta membuang pada tempatnya tetapi juga lebih pada memilah sampah yang bisa dimanfaatkan kembali.

Penulis, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAN Bali Mandara

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *