Wayan Suartana. (BP/Dokumen)

Oleh I Wayan Suartana

Memasuki hari pendidikan nasional bersamaan dengan masih merebaknya kondisi luar biasa Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama lebih dari setahun merapuhkan sendi-sendi kehidupan. Selama setahun lebih proses pembelajaran dilaksanakan dalam jejaring internet rumah virtual.

Perkuliahan tidak bisa menampilkan sisi-sisi kemanusiaan karena gestur tidak nampak seutuhnya. Dengan kata lain interaksi daring dan secara langsung sangat berbeda atmosfirnya.

Apa daya itulah yang terbaik yang bisa dilakukan oleh pendidikan tinggi. Pemerintah pun tidak tinggal diam dengan memberikan subsidi internet kepada mahasiswa dan dosen.

Dengan segala keterbatasan perkuliahan bisa berjalan meski tidak optimal sekali. Menerima keadaan ini adalah pilihan yang rasional. Akan tetapi, bukan hanya itu persoalannya.

Persoalan yang penuh dengan ketidakpastian adalah kemampuan daya beli masyarakat menurun. Banyak orang tua yang menunda kuliah anaknya karena persoalan biaya.

Ditenggarai juga banyak yang putus kuliah atau tidak mendafarkan kembali karena prioritas hidup. Banyak pula yang memilih menunda dan menunggu situasi membaik. Mereka lebih mengalokasikan tabungannya (kalau ada) untuk kebutuhan hidup dalam bentuk sembako.

Baca juga:  Perlindungan Hukum bagi Pelaku Usaha dan Konsumen

Karena itu tidak mengherankan banyak program studi yang mengalami penurunan jumlah mahasiswa atau paling tidak keketatan persaingan masuk ke perguruan tinggi menjadi lebih rendah. Sampai kapan ini akan berlangsung tak ada yang tahu.

Hemat kata perlu upaya-upaya untuk meminimalisasi masalah-masalah di pendidikan tinggi pada masa pandemi begini agar tidak menjadi akut. Pertama, kiranya perlu dibangkitkan lagi kebijakan merger antarperguruan tinggi khususnya PTS sehingga bisa kuat dalam hal sumber pendanaan dan sumber daya manusia.

Riilnya, yang kuat membantu yang lemah. Pengambilalihan (take over) bisa saja terjadi untuk menyelamatkan kelangsungan hidup institusi. Memang tidak mudah tetapi pilihan ini bukan sesuatu yang mustahil asalkan antarpihak mempunyai komitmen yang sama konsisten dengan nilai-nilai idealisme pendidikan.

Nilai mencerdaskan kehidupan bangsa tetap menjadi fondasi dasar untuk mengembangkan dunia pendidikan kita. Merger adalah sebuah strategi atau bisa juga disebut resiliensi proses bisnis di lembaga pendidikan. Hal yang wajar manakala kita dihadapkan pada keharusan untuk bertahan.

Baca juga:  Tertib Berlalulintas Sejak Dini, Satlantas Latih Pocil

Bentuk lain bisa berupa restrukturisasi fakultas atau Unit Pengelola Program Studi (UPPS) misalnya penggabungan program studi dalam satu atap Fakultas dengan asumsi visi keilmuwannya serumpun atau ada kedekatan filosofis, metoda dan sosiologis. Kedua, dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada pada masa pandemi pendidikan tinggi diharapkan tetap menjadi agen pembangunan dan perubahan.

Pembangunan mempunyai spektrum luas tidak semata berorientasi pada outcome base tetapi juga melahirkan lulusan berkarakter, unggul dan berdaya saing. OBE (outcome based education) tidak hanya menghasilkan inovasi, produk dan kecerdasan buatan tetapi juga pribadi-pribadi yang berintegritas dan merawat betul sayap-sayap kebangsaan dalam kerangka NKRI.

Inovasi menjadi relevan ketika diramal dunia akan memasuki peradaban baru dengan segala problematikanya. Maka itu sumber kreator harus dikembangkan terus dan karakternya tetap diperkuat.

Menjadi pribadi tangguh pada dunia yang tidak linear dan siap menerima perubahan. Karakter bisa bertahan pada berbagai situasi itu juga menjadi salah satu tujuan pendidikan kita. Dengan demikian terdapat keseimbangan antara sinyal pasar (market signal) dan visi keilmuwan (scientific Vision).

Baca juga:  Syarat Izin PSPD, Undiksha Jalani Visitasi Internal

Sinyal pasar tidak boleh “mendikte” visi keilmuwan begitu juga sebaliknya. Saat ini juga pendidikan tinggi juga sedang mengembangkan kurikulum Kampus Merdeka-Merdeka Belajar. Kurikulum ini tidak hanya bermuara pada penguatan sisi kognitif tetapi juga kontekstual permasalahan di masyarakat yang tidak hanya didekati dari satu disiplin ilmu tetapi lintas displin tanpa mengabaikan kompetensi dasarnya (core competence).

Bangunan besar kurikulum sedapat mungkin menghasilkan lulusan yang siap kerja dan siap menciptakan kerja. Kapabilitas transdisiplin mendukung capaian pembelajaran lulusan (CPL). Kebijakan kurikulum ini diharapkan bisa berjalan konsisten dengan ultimate goal membuat suasana hati para pembelajar dapat terangkat motivasinya dalam balutan rasa optimisme menyongsong era dan peradaban baru.

Penulis, Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unud

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *