Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Pembelajaran adalah salah satu yang terdampak besar dalam masa pandemi Covid-19 ini. Semua sektor pendidikan seolah dipaksa untuk terus berbenah dalam melanjutkan proses pembelajaran. Siap atau tidak guru harus berusaha melakukan pembelajaran semaksimal mungkin dan adaptif dari segi waktu, materi yang disampaikan, metode/teknik, media dan fasilitas yang digunakan melalui keharusan belajar dari rumah dengan daring ataupun luring.

Berbagai masalah muncul mulai dari sinyal yang kurang bagus, tidak ada kuota, tidak punya fasilitas menjadi kendala bagi sebagian peserta didik dan guru, selain hal-hal psikologis lainnya seperti kebosanan, kelelahan karena tugas menumpuk, kurang menyenangkan karena kurang interaktif dengan teman dan guru, serta gangguan kesehatan mata dan fisik lainnya karena terlalu lama di depan gadget.

Namun, semua harus berjalan dan harus berubah karena dikondisikan virus si Covid-19 yang sekarang sudah berkembang dengan berbagai varian. Akankah kita bisa kembali dengan pembelajaran tatap muka (face-to-face) seperti dulu yang penuh canda tawa dan keceriaan atau akan tetap seperti ini dalam waktu yang lama? Tampaknya beberapa bulan ke depan kita harus masih tetap bertahan dengan belajar dari rumah. Belajar dari rumah bila dilihat secara positif sesungguhnya mengajarkan kita untuk membuat anak didik mengembangkan otonomi belajar.

Baca juga:  Demo Siswa dan Gaya Kepemimpinan

Cara belajar yang berpusat pada peserta didik ini (student-centered) merupakan paradigma belajar yang belakangan memang didengungkan, diupayakan, dan diimplementasikan oleh para pendidik bahkan jauh sebelum merebaknya kasus virus Covid-1,9 yang kemudian menjadi cara ampuh untuk belajar di masa pandemi ini. Tidak ada cara lain karena kehadiran guru memberikan materi (teacher-centered) melalui ceramah memang sudah selayaknya dikurangi porsinya. Hal ini ditujukan agar peserta didiklah yang diharapkan mampu mengoptimalkan pembelajarannya.

Model pembelajaran konstruktivis ala Piaget dan Vigotsky memang menjadi model ampuh dalam usaha mengembangkan kemampuan peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Tugas guru adalah hanya sebagai fasilitator belajar, yang mengatur pembelajaran, memberikan bimbingan dan arahan, membagikan sumber-sumber belajar secukupnya, dan selanjutnya merekalah yang mengeksplorasi, menemukan, menambahkan, mensintesa dan membangun pengetahuannya sendiri.

Baca juga:  Ketakutan "Adu Jangkrik" AS dan Iran

Meski cara belajar yang berpusat pada peserta didik ini tampak sangat ideal di era sekarang, pengawasan atau monitoring susah dilakukan oleh guru. Mengapa demikian? Karena apa yang dikerjakan siswa dan bagaimana mengerjakannya, guru tidak atau kurang mengetahuinya. Hal ini jauh berbeda dengan pembelajaran tatap muka (face-to-face).

Guru akan lebih memahami bagaimana perkembangan kognitif siswa dari apa dan bagaimana mereka mengerjakan tugas baik individu atau kelompok di sekolah karena selama pembelajaran guru bisa mengecek penguasaan mereka secara langsung. Bahkan pada tingkat-tingkat atau satuan pembelajaran yang lebih rendah (SD atau SMP) yang notabene anak-anak masih perlu bimbingan guru, akan rentan tidak paham pelajaran dan tugas yang diberikan.

Baca juga:  Microgreen Inovasi Inisiatif Baru

Orangtua yang mestinya membimbing mereka belajar agar anaknya mampu menjawab atau mengerjakan tugasnya sendiri atas bimbingannya, terkadang justru dan mungkin melenceng dari pakemnya dengan berbagai alasan, seperti mencari jalan pintas supaya tugas cepat selesai atau memberikan jawaban dan mengerjakan tugas anaknya supaya mendapat nilai tertinggi. Lalu anak-anak senang dan bangga bahwa tugasnya dapat nilai 100.

Mendapat nilai tinggi itu penting, tetapi rasa sukses membuat pekerjaan sendiri (sense of success) sesungguhnya jauh lebih penting. Karena anak-anak akan menjadi anak yang ringkih dan kurang mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan bila trus ‘dimanja’ oleh orangtua. Dengan demikian, pembelajaran yang berpusat pada orangtua (parent-centered) mungkin secara temporal dapat membantu peserta didik, namun sesungguhnya itu tidak menjadikannya pribadi yang kuat dan tangguh yang akan membawanya pada kemampuan menyelesaikan masalah-masalah kehidupannya.

Penulis Dosen di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Om Swastyastu, setelah saya membaca semuanya, saya sangat setuju dengan pendapat dari Ibu Ratmi, terutama pada bagian, ” Mendapat nilai tinggi itu penting, tetapi rasa sukses membuat pekerjaan sendiri sesungguhnya jauh lebih penting” menurut saya, terkadang orang tua yang terlalu memanjakan anaknya akan memberikan dampak yang kurang baik, terutama dalam hal belajar ataupun segala suatu hal dalam pekerjaan rumah. Dalam belajar, jika dalam mengerjakan tugas sekolah, orang tua menggunakan cara praktis dalam membimbing anaknya, seperti dengan cuma cuma memberikan sebuah jawaban, tanpa memberi tahu darimana atau bagaimana bisa dikatakan itu sebagai jawaban yang tepat. Jika cara orang tua yang seperti ini dilakukan, kemungkinan anaknya tidak akan mendapatkan pembelajaran yang baik, tidak bisa meng improve sampai mana kemampuan belajarnya, dan tidak akan bisa memecahkan suatu permasalahan dalam belajar.
    Pembelajaran yang baik, jika orang tua terlibat dalam proses pengerjaan tugas anaknya, orang tua hanya berperan sebagai pemberi arahan, dimana orang tua akan mengarahkan anaknya kebagian mana yang sesuai pada konteks pembelajaranya, dan orang tua menyuruh anaknya untuk mencoba berusaha mencari sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri. Jika didikan seperti ini yang dilakukan orang tua kepada anaknya, sudah pasti, nantinya si anak akan bisa memecahkan permasalahannya sendiri dan bisa meng improve sudah sampai mana kemampuanya. I think that’s all from me, Thankyou, and have a nice day.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *