Oleh Putu Eka Wirawan
Sudah satu setengah tahun, pandemi COVID-19 melanda dunia. Pariwisata dan usaha turunannya tak berdaya karenanya.
Berbagai upaya pun dilakukan pemerintah demi pemulihan ekonomi di tengah ancaman virus yang masih melanda. Jika tidak, maka tingkat pengangguran semakin meningkat dengan resiko sosial yang tak terkendali. Salah satunya bagi Bali yang selama ini mengandalkan sektor pariwisata.
Di tengah kondisi pariwisata yang belum menentu, travel bubble menjadi wacana pemerintah Indonesia dan negara tertentu dalam menjaga asa pendapatan masing-masing negara melalui pariwisata. Paket wisata yang hanya melibatkan jalur khusus antara Bali dengan Tiongkok, Uni Emirat Arab, Belanda, dan Singapura menjadi cermin betapa pentingnya parwisata Bali bagi Indonesia dan dunia. Baik di masa lalu maupun di masa-masa mendatang, Bali tetap menjadi acuan bagi kepariwisataan negara kita.
Melalui model pariwisata travel bubble dapat memudahkan wisatawan melakukan perjalanan secara bebas tanpa kewajiban karantina mandiri. Semua kerumitan akan direduksi dengan aturan dan kebijakan di masing-masing negara peserta. Kuncinya, harus ada kejujuran di antara negeri asal dan rasa percaya diri bagi wisatawan di negara tujuan. Singkatnya, melalui program tersebut semua negara peserta dapat menjamin keamanan dari penyebaran virus.
Karena berhasil menurunkan angka positif Covid-19, program travel bubble akan diperioritaskan di Bali. Pasca Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro, kawasan wisata Ubud, Sanur dan Nusa Dua menjadi masuk green zone. Ketiganya dipersiapkan menerima wisatawan mancanegara melalui program free covid corridors atau travel bubble.
Program travel bubble menjadi alternatif paling masuk akal bagi perekonomian negeri peserta selama pandemi berlangsung. Namun resiko yang dihadapi juga tidak sedikit. Dengan demikian, perlu adanya aturan yang jelas dan protokol kesehatan yang ketat harus dijalankan. Salah satu yang paling utama adalah adanya kepastian bagi pelaku wisata sudah divaksinasi.
Selain itu, wisatawan mancanegara yang masuk juga harus mampu menunjukkan sertifikat vaksinasi dan surat keterangan bebas Covid-19. Jika selama diperjalanan mereka memiliki gejala tertentu dan meskipun statusnya negatif, maka mereka harus melakukan karantina selama seminggu di rumah sakit atau hotel yang telah ditunjuk oleh pihak tuan rumah.
Pun demikian dengan dengan hotel, restoran dan daya tarik wisata dari negara-negara peserta yang akan dituju. Ketiga entias tersebut harus mampu menunjukkan sertifikat CHSE yang masih berlaku dan tetap memberlakukan protocol Kesehatan secara ketat. Dengan demikian, para pelaku bisnis pariwisata di atas harus melakukan sertifikasi secara berkala.
Hal penting yang musti disipakan adalah terkait dengan daya tarik wisata yang perlu ditawarkan dalam program travel bubble. Karena dunia masih dalam suasana pandemi, maka tidak semua obyek wisata dapat ditawarkan. Bali yang dikenal wisata budayanya dapat meneguhkan kembali posisinya dalam paket tersebut. Wisata spiritual berbasis kearifal dan wisata budaya berspektif lokalitas Bali dapat menjadi salah satu produk unggulan selama covid-19.
Melalui paket wisata minat khusus dengan mengunjungi warisan budaya yang bersifat tangible dan intangible diharapkan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat Bali yang hidup dengan pariwisata. Di sisi lain, melalui paket wisata tersebut, angka penularan covid-19 dapat ditekan semaksimal mungkin. Dengan demikian, paket wisata travel bubble dapat menjadi solusi ekonomi di masa pandemi demi menjaga asa pariwisata budaya Bali di masa kini dan mendatang.
Penulis dosen Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional