Ketua Komnas KIPI Hindra Irawan Satari saat memberikan keterangan kepada wartawan secara virtual. (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Meninggalnya Trio Fauqi Virdaus (22) dengan pembekuan darah dikaitkan akibat vaksin AstraZeneca belum memiliki cukup bukti. Hal itu diterangkan Komisi Nasional (Komnas) Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI).

“Saat ini sedang dilakukan penelusuran untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk mengaitkan kejadian ikutan pascaimunisasi dengan imunisasi yang diberikan,” kata Ketua Komnas KIPI Hindra Irawan Satari dikutip dari Kantor Berita Antara, Selasa (11/5).

Hindra mengatakan gejala yang mungkin timbul pascaimunisasi beragam pemicunya, bisa disebabkan oleh kandungan vaksin yang mengalami cacat produk hingga kekeliruan prosedur saat penyuntikan. “Dulu ada vaksin Rotavirus menyebabkan invaginasi, tapi sekarang sudah diubah produknya jadi generasi berikutnya dan sekarang sudah aman. Atau kekeliruan prosedur, misalnya disuntikan di dalam otot, ternyata suntiknya terlalu dangkal itu bisa juga sebabkan KIPI,” katanya.

Baca juga:  Antisipasi Libur Lebaran, BRI Siapkan Rp 62 Triliun

Hindra mengatakan Komnas KIPI masih mengumpulkan bukti terkait dugaan pembekuan darah yang dialami warga Buaran, Jakarta Timur, itu. “Belum cukup bukti, namun tidak dapat disingkirkan,” katanya saat ditanya apakah kejadian yang dialami Trio berkaitan dengan pembekuan darah,” jelasnya.

Prinsip kedua yang sedang ditelusuri Komnas KIPI adalah faktor kecemasan almarhum yang tidak terkait dengan imunisasi. “Prinsip keduanya adalah kecemasan, namun gejala yang diperlihatkan ada perbedaan,” katanya.

Reaksi kecemasan berdasarkan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada 20 Desember 2019 dikelompokkan dalam ‘Imunization Stress-Related Respons’ atau gejala dan tanda yang muncul akibat kecemasan. “Ini tidak berhubungan dengan kecacatan produk, tidak berhubungan dengan isi vaksin bahkan kekeliruan prosedur. Respons ini merupakan reaksi dari ‘nerveus fanboost’, reaksinya berupa napas cepat berhubungan dengan reaksi psikiatrik yang berhubungan dengan stres,” katanya.

Baca juga:  Denpasar Alami Tren Peningkatan Kasus COVID-19

Hindra mengatakan faktor stres muncul karena kekuatan psikologi orang berbeda, kerentanan berbeda, pengetahuan tentang vaksin juga berbeda dan persiapan dan konteks sosial berbeda pada setiap individu. “Misalnya saat mau ujian lisan, kita ke kamar mandi bolak-balik. Atau dipanggil atasan, kita berdebar. Bisa juga diputuskan pacar, tidak ada nafsu makan. Reaksi ini sama dengan imunisasi,” katanya.

Respons stres yang berhubungan dengan imunisasi bisa berupa stres akut, reaksi ‘vasovagal’ atau dissosiative neurological. Stres akut biasanya ditandai jantung berdebar, kemudian kesemutan, rasa sakit dada, melayang, pusing, sakit kepala dan bisa berulang. Kadang terjadi pingsan, kejang hingga bengong.

Baca juga:  Dapat Sepeda dari Presiden, Ini Rencana Ketua DPD RI

Reaksi ‘vasovagal’ ditunjukan dengan rasa pusing namun reaksinya ringan. “Itu akibat dari pelebaran pembuluh darah dan denyut jantung menurun. Pingsan bisa 20 detik atau beberapa menit, terus langsung sadar dan baik,” katanya.

Sementara, dissosiative neurological sympton reaction mirip seperti mengalami kelumpuhan, lemas atau gerakan aneh, susah bicara atau kejang. Situasi ini bisa terjadi beberapa hari atau jam setelah imunisasi. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *