Oleh I Komang Warsa
Bahasa sebagai alat komunikasi utama masyarakat dalam berbagai aspek kepentingan. Baik itu sebagai alat komunikasi perdagangan, politik, hukum, dan lainnya. Demikian halnya dengan bahasa Indonesia yang digunakan sebagai pengungkap gagasan dalam ragam hukum, harus bersistem dan terstruktur agar mudah dipahami dalam menterjemahkan dan mengambil keputusan hukum.
Bahasa Indonesia ragam hukum adalah bahasa Indonesia yang khusus digunakan dalam hukum baik secara teori dan praktik hukum, baik bentuk aturan tidak tertulis dan aturan tertulis, baik hukum adat atau hukum perundangan yang bersifat nasional. Karakteristik bahasa Indonesia ragam hukum terletak pada istilah-istilah, dan pilihan katanya.
Bahasa hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan. Karena tujuan hukum sendiri adalah terciptanya kesejahteraan umat manusia dalam berkehidupan sukerta sekala niskala menjaga keharmonisan Tri Hita Karana. Penggunaan bahasa Indonesia ragam hukum harus baku, terang, monosemantik dan memenuhi kaidah bahasa Indonesia. Bahasa hukum harus ada kepastian makna yang bersifat leksikal monosemantik.
Bahasa hukum harus dibedakan dengan ragam bahasa sastra. Pemaknaan ragam bahasa hukum harus bersifat monosemantik dan bersifat denotatif, lugas dan bermakna leksikal kontekstual. Berbeda halnya dengan bahasa sastra lebih bersifat multitafsir yang sangat bergantung pada pembaca atau penikmat sastra sendiri. Bahasa sastra bersifat tafsir makna sedangkan ragam bahasa hukum pemaknaan leksikal denotatif. Bahasa hukum harus mengandung makna leksikal dan lugas monosemantik maka bahasa hukum tidak boleh ditafsirkan layaknya tafsir karya sastra. Bahasa hukum harus dimaknai secara leksikal kontekstual bukan konotatif kontekstual.
Apabila bahasa hukum melahirkan ambiguitas makna jelas akan melahirkan keputusan yang kurang akurat bahkan jika bahasa hukum lebih banyak ditafsirkan cendrung keputusan hukumnya menjadi putusan imajinasi. Kebenaran hukum dari putusan hukum diperoleh bukan dari kelihaian bersilat lidah dari penegak hukum melainkan kemampuan penegak hukum memaknai kata, frase, kalimat dan wacana hukum secara leksikal denotatif.
Dengan demikian pendidikan bahasa bagi penegak hukum sangat diperlukan agar mendapatkan kebenaran hukum yang sesuai. Dari kebenaran hukum akan melahirkan putusan hukum yang tepat. Jika pemaknaan hukum bersifat multitafsir akan melahirkan pembenaran dan bukan kebenaran hukum.
Yang dimaksud dengan istilah “bahasa hukum” ialah suatu corak penggunaan bahasa yang khas dalam dunia hukum seperti perundang-undangan, pledoi, surat-surat dalam perkara, istilah yang berwujud keterampilan berbahasa dalam profesi. Para penegak hukum harus memahami betul kaidah berbahasa baku Indonesia dan mengerti unsur suprasegmental sebagai intonasi bahasa.
Jika kaidah bahasa kurang dipahami oleh penegak hukum akan berakibat fatal terhadap putusan hukum apalagi bahasa hukum banyak ditafsirkan oleh para penegak hukum akan melahirkan putusan imajinasi seperti halnya tafsir sastra. Bahasa baku atau standar ialah bahasa yang dapat dijadikan acuan atau tolok ukur, baik dalam hal kegramatikalan kalimat mencakup struktur kalimat serta bentuk dan pilihan kata maupun dalam hal penulisannya.
Pergeseran atau perubahan makna dari satu ujaran atau tulisan dari suatu bahasa juga ditentukan oleh intonasi atau tanda baca dari ujaran atau kalimat tersebut. Makna bahasa juga sangat ditentukan oleh penjedaan atau intonasi bahasa.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam bidang hukum sampai saat ini masih jauh dari harapan. Bahasa Indonesia yang dituangkan dalam peraturan perundangan dan berbagai putusan di bidang hukum kerap mengundang multitafsir dan tak lugas. Hal itu terjadi karena “disinyalir” para pembuat aturan dan penegak hukum belum sepenuhnya menguasai bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Di samping itu, minimnya padanan kosakata bahasa Indonesia membuat berbagai dokumen hukum yang ada masih menggunakan bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan Belanda. Untuk itu, para pakar pendidik bahasa Indonesia dan pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk merumuskan bahasa hukum yang baku, lugas, singkat, modern, dan mudah dicerna secara jelas, tegas dan tepat.
Penulis Guru Bahasa Indonesia SMA N 1 Rendang