Oleh Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc. MMA
Pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan guna mewujudkan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Bali yang luasnya relatif sempit termasuk lahan pertaniannya harus dikelola secara sistemik dan terencana.
Keberlanjutan yang dimaksudkan tidak semata-mata berkenaan dengan aspek sosial, ekonomi, kesehatan dan teknis tetapi juga aspek lingkungannya, seperti udara, air dan tanah/lahan. Aspek keberlanjutan tersebut harus tetap dijamin memberikan kemanfaatan bagi generasi penerus dan bagi pembangunan yang memiliki multi-dimensi. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendekatan yang saling terintegrasi baik dari bidang pertanian maupun non-pertanian.
Selama setengah abad sistem pertanian telah dipaksakan untuk menggunakan input yang kandungan kimia sintetisnya tinggi, seperti aplikasi pupuk dan pestisida atau insektisida dan sejenisnya. Hingga saat ini, ketergantungan para petani terhadap input pertanian tersebut masih sangat tinggi. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa para petani kita merasakan kepanikan jika ketersediaan input tersebut (pupuk kimia) sangat terbatas pada saat sangat dibutuhkan.
Selain itu, penggunaan input tersebut juga telah memberikan dampak yang kurang baik terhadap kesehatan manusia dan juga lingkungannya. Tanah/lahan sepertinya ‘diperkosa’ dan kemudian tidak berdaya untuk dapat memberikan unsur hara bagi tanaman secara sehat karena telah terjadi degradasi kesuburan tanah/lahan karena aktivitas biologi tanah terganggu. Bahkan keanekaragaman hayati, dan kualitas lingkungan hidup menjadi tergerus yang dapat menyebabkan munculnya hama dan penyakit baru bagi tanaman.
Salah satu terobosan yang harus semakin didorong dan dibangkitkan adalah penerapan sistem pertanian organik seperti yang telah digariskan oleh Gubernur Bali melalui Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2019 tentang Sistem Pertanian organik.
Regulasi ini sebenarnya merupakan salah satu pengejawantahan dari filosofi Hindu Bali yaitu tri hita karana yang berisikan konsep keharmonisan di antara tiga komponen, yaitu parhyanga, pawongan dan palemahan. Di tingkat petani dan kelompok petani, sudah mulai dikembangkan pembuatan pupuk organik, kompos, kendang meskipun belum berskala besar. Pembuatan pupuk organik ini selanjutnya langsung diaplikasikan di dalam pengelolaan usahataninya baik di lahan sawah maupun kebun.
Dalam upaya untuk meningkatkan produksi pupuk organik, diperlukan beberapa langkah integrasi di antara pemerintah, kelompok petani, pengusaha lokal, Lembaga sertifikasi dan jasa keuangan. Pemerintah dengan regulasinya diharapkan dapat memberikan iklim yang kondusif bagi para pelaku produski pupuk organik untuk saling berbagi peran yang berkenaan dengan penyediaan bahan baku pupuk, teknologi pembuatan, diseminasi teknologi, sertifikasi organic, penyediaan alat dan mesin utama dan pendukung pembuatan pupuk, penyediaan modal usaha, dan pasca-produksi pupuk.
Kepastian usaha terhadap produsen pupuk organik agar dapat dijamin melalui pendekatan bisnis inkulsif, yaitu tumbuhnya integrasi yang kuat di antara para pelaku di dalam sistem produksi pupuk organik dari hulu sampai ke hilir. Masing-masing pelaku di dalam sistem produksi pupuk ini dipastikan untuk memperoleh nilai tambah atau insentif ekonomis yang proporsional. Artinya bahwa permintaan terhadap pupuk organik agar sesuai dengan penawaran atau ketersediaan pupuk yang diproduksi baik oleh kelompok petani atau pengusaha lokal.
Harapan ke depan adalah lingkungan pertanian baik fisik maupun non-fisik dapat terjamin keberlangsungan dan memberikan manfaat yang semakin baik bagi generasi mendatang dan mempertahankan kualitas lingkungan pertanian di Bali.
Penulis, Rektor Dwijendra University, Ketua HKTI Buleleng, Wakil Ketua Perhepi Bali
kwalitas lingkungan pertanian yg baik tdk saja dari penerapan pupuk atau unsur organik, namun juga yg paling berbahaya adalah ekspansi alih fungsi lahan pertanian. tentu dapat dikalkulasi, mana yg paling berdampak cepat dan nyata terhadap kwalitas tsb.