DENPASAR, BALIPOST.com – Di masa pandemi Covid-19, remaja Bali kini semakin rentan bunuh diri dan terlibat dalam kekerasan seksual. Tak hanya jadi pelaku, korban dari kalangan anak-anak juga makin marak terjadi saat pandemi ini.
“Jika terduga pelaku tidak mendapatkan hukuman positif (dihukum), apalagi pemberitaan kasus bisa dilakukan oleh siapapun saat ini yang tidak memahami UU Pers dan UU Perlindungan Anak yang menyatakan tidak mempublikasi secara utuh terutama identitas alamat, desa, dll., maka korban akan menjadi korban lagi,” tegas Dr. dr. A.A. Sri Wahyuni, Sp.KJ., dokter spesialis Kesehatan RSUP Sanglah, Selasa (18/5).
Orang dewasa yang terbiasa berperilaku buruk seperti langganan ke tempat prostitusi, dengan kondisi saat ini tidak ada dana, maka bisa saja memulai mengintai anak remaja melalui media sosial. Di masa pandemi, kasus kekerasan seksual cenderung meningkat karena aktivitas lebih banyak di dunia maya.
Orang dewasa yang tanpa kesibukan kerja karena PHK, lalu melakukan kegiatan-kegiatan tidak bermanfaat seperti menonton film-film porno, melihat Instagram remaja yang mengeksploitasi diri sendiri dengan foto-foto, bisa memicu seseorang melakukan aktivitas seksual bahkan mungkin akan melakukan kekerasan seksual.
Menurutnya, di masa pandemi ini orangtua lebih banyak di rumah, sehingga anak-anak bisa tetap diawasi, dan memperluas jaringan pertemanan dengan kalangan seumur. “Kekerasan seksual terjadi pada anak karena orangtua banyak yang belum paham. Sehingga orangtua apalagi anak tidak tahu cara menjaga diri dari predator seksual anak. Anak juga jarang mendapatkan pendidikan seksual tentang perubahan-perubahan diri pada pubertas,” bebernya.
Faktor lain, kata dia, secara sosial ekonomi kadang-kadang remaja tergiur dengan mendapatkan segala fasilitas dengan mudah. Tanpa disadari telah terjadi eksploitasi seksual (prostitusi anak).
Dia meminta semua komponen ikut menjaga ketahanan mental di masa pandemi ini. Mengajak anak bekerjasama untuk meningkatkan penghasilan di masa pandemi dengan membantu berjualan atau mengantarkan produk. Sehingga mereka merasakan tidak hanya menuntut haknya pada orangtua.
Selanjutnya orangtua membangun komunikasi yang sehat agar anak-anak semangat menghadapi kesulitan dalam kehidupan saat ini.
Saat ini kekerasan seksual meningkat tidak hanya offline tapi juga secara online. Kotak pandora ini seharusnya disosialisasikan oleh Dinas Pendidikan, Pemberdayaan Perempuan dan Dinas Sosial agar di tengah pandemi ini, keluarga khusus ortu, semakin menguatkan mental keluarga. ”Jangan sampai depresi hanya memikirkan ekonomi akhirnya anak-anak menjadi korban kekerasan seksual,” tegasnya. (Citta Maya/balipost)