Wayan Suartana. (BP/Dokumen)

Oleh I Wayan Suartana

Ini kali kedua kita merayakan hari kebangkitan nasional dalam suasana prihatin dan keadaan luar biasa. Banyak yang meyakini bahwa kita akan memasuki peradaban baru. Peradaban baru yang dicirikan dengan perubahan cara hidup. Apapun, nilai kebangkitan nasional tetap aktual memberi spirit bertahan dan bangkit lagi.

Pandemi memberi pelajaran bahwa dalam situasi dan kondisi apapun kita harus tetap semangat. Semangat kepahlawanan dan semangat pejuang-pejuang kita terdahulu menjadi penuntun menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata “bangkit” menjadi adrenalin optimis menggelora. Kalau kita sepakat dengan “peradaban baru” apa yang bisa diskemakan sebagai pengejawantahan nilai-nilai kebangkitan nasional.

Pertama, kita harus bangkit secara kesehatan dan pendidikan. Kesehatan menjadi fokus karena ini menjadi prioritas kita saat ini. Meskipun masalah global tetapi sistem dan mitigasi bencana bersifat nasional dan khas-tangguh perlu kita mantapkan. Pandemi memberi pelajaran bahwa level sarana dan prasarana kesehatan, tenaga kesehatan dan pendukung lainnya proporsional dengan jumlah penduduk dan trend kenaikannya. Kebangkitan generasi melinial dengan bonus demografi menjadi tantangan tersendiri mempersiapkan anak-anak bangsa yang siap secara fisik mengemban dan memfungsikan amanahnya.

Baca juga:  ”Quo Vadis” Lembaga Keuangan dan Dunia Usaha Bali

Bonus demografi memerlukan pengelolaan kesehatan yang memadai dalam konteks produktivitas kerja. Pendidikan juga harus bangkit yang ditandai oleh sistem yang semakin baik dan adaptif. Luaran yang diharapkan tidak hanya menyangkut kemampuan kognitif saja tetapi juga kapabilitas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan multidisiplin di masyarakat. Pendidikan untuk semua dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, bangkit secara ekonomi.

Porak poranda ekonomi adalah masalah global dalam artian semua negara mengalami tetapi bukan menjadi alasan untuk kita tidak bangkit. Keberhasilan berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah misalnya vaksinasi menjadi penentu dalam membangkitkan kembali ekonomi yang sempat terpuruk. Apa hikmahnya? Kita jangan tergantung pada satu sektor dan memperbanyak portofolio dengan risiko terkelola dan mulai merubah model bisnis ke arah digital. Kebangkitan model bisnis baru bisa dibilang merupakan wujud dari peradaban baru itu sendiri.

Baca juga:  Pandemi dan Pelajaran dari Puputan Margarana

Perubahan model bisnis dipicu oleh semakin seringnya kita mengungkapkan kata kreatif. Kreator utamanya teknologi informasi. Era kebangkitan ini ditandai oleh “kebangkitan fungsional” sebuah frasa yang menunjukkan bahwa masa yang akan datang kita akan lebih banyak berbicara fungsi dari pada bentuk. Wajah pertemanan tanpa pertemuan menghiasi dinamika meski kemanusiaan akan membelah semua itu karena kerinduan terhadap rasa gotong royong dan kekeluargaan.

Tentu, kebangkitan secara fungsional erat kaitannya dengan sejauh mana kita memungsikan diri dan apa yang ada di sekitar kita agar lebih produktif dan efisien. Inilah sesungguhnya peradaban baru yang tidak bisa kita hindari. Efisen karena cara kerja dan efektif karena mempunyai tujuan yang jelas. Ketiga, kita harus bangkit mengantisipasi terjadinya perang proksi. Perang proksi sebuah konstruk yang terbangun oleh kemajuan teknologi informasi dan peradaban digital.

Baca juga:  Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Perbatasan

Perang proksi sederhananya bisa berwujud berita-berita hoax dan ujaran kebencian yang mengoyak kita secara horizontal. Inilah perang yang sangat halus tetapi dampaknya bisa jadi masif. Karena itu kita harus bangkit memerangi berita-berita hoax dan adu domba. Persatuan dan kesatuan kita rawat baik-baik dan kapitalisasi menjadi sebuah kekuatan sehingga negara kita tetap kuat, utuh dan maju. Perang proksi direduksi dengan cara cerdas dan literasi yang cukup.

Penulis Guru Besar FEB Unaiversitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *