Oleh Agung Kresna
Tindak tegas pelanggar nilai budaya Bali (Bali Post, 10/5). Pernyataan Gubernur Bali Wayan Koster ini menyiratkan rasa gerah dengan ulah Warga Negara Asing (WNA) di Bali yang marak melakukan pelanggaran terhadap adat budaya masyarakat Bali.
Belum lagi WNA di Bali yang banyak melakukan pelanggaran protokol kesehatan pandemi COVID-19. Di Bali memang tercatat ada ribuan WNA pemegang Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap) maupun Kartu Izin Tinggal Sementara (Kitas).
Data hingga April 2021 mencatat ada 2.246 WNA di Bali yang mengantongi Kitap. Sementara WNA pemegang Kitas di Bali tercatat 29.070 orang. Lebih dari 90 persen terdaftar di Kantor Imigrasi Ngurah Rai dan Denpasar.
Sehingga Gubernur Bali menganggap perlu menyerukan agar semua WNA yang berada di Bali untuk selalu berperilaku tertib dengan menghormati hukum dan nilai budaya masyarakat Bali. Hal ini mengingat bahwa setiap pelanggaran harus ditindak tegas demi menegakkan kehormatan dan kewibawaan negara di mata dunia.
Harus diakui bahwa sejak industri pariwisata menjadi lokomotif perekonomian Bali, banyak WNA yang datang sebagai wisatawan di Pulau Dewata ini. Situasi ini selain memberi dampak positif terhadap perekonomian Bali, juga menimbulkan dampak adanya dekonstruksi budaya masyarakat Bali melalui infiltrasi dalam keseharian kehidupan krama Bali.
Dunia pariwisata sebagai sektor industri jasa sebenarnya merupakan dunia yang “baru” bagi masyarakat Bali. Era pariwisata Bali baru benar-benar menjadi jantung kehidupan krama Bali pada dasa warsa 90an.
Sehingga dunia pariwisata menjadi budaya kehidupan keseharian krama Bali. Pada kelanjutannya Bali seakan identik dengan pariwisata. Kearifan lokal (local genius) krama Bali merupakan intangible heritage yang dapat menjadi culture capital (modal sosial-budaya) besar dalam menjaga peradaban Bali.
Sementara berbagai jejak budaya berupa pura, puri, dan karya budaya krama Bali merupakan tangible heritage yang tak ternilai. Bali memiliki kekayaan cultural heritage yang elok dan memesona.
Sikap komunal penuh kemitraan yang dimiliki krama Bali dalam aura semangat manyamabraya, mencerminkan modal sosial-budaya tersebut. Semua itu tentu harus tetap berada dalam balutan tatanan anatomi tradisi adat-budaya krama Bali dengan berlandaskan filosofi keseimbangan Tri Hita Karana di keseharian kehidupan masyarakat Bali.
Merebaknya pandemi COVID-19 di seluruh dunia, telah mengoyak segala sendi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya semua warga di muka bumi ini. Semua tolok ukur dan kriteria yang selama ini digunakan dalam kehidupan keseharian kita, seakan menjadi tidak berlaku lagi. Kita dihadapkan pada situasi yang serba anomali, sehingga juga memerlukan pola pikir yang berbeda.
Bali pun tidak bisa menghindar dari serbuan pandemi COVID-19 ini. Seluruh sendi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya menjadi berubah.
Zona nyaman pariwisata yang selama ini dinikmati masyarakat di seluruh pelosok Pulau Bali, seakan lenyap begitu saja dari kehidupan keseharian di semua pelosok Pulau Bali. Tidak sedikit WNA yang “terjebak” tinggal di Bali berusaha bertahan secara ekonomi.
Ada yang hidup menggelandang, mengais makanan dari banten, hingga WNA yang mengais rejeki melalui kelas yoga yang tidak sesuai dengan adat budaya Bali. Terjadi dekonstruksi ekonomi dan budaya pada masyarakat yang tinggal di Bali.
Harus ada langkah komprehensif yang bersifat fundamental dalam merawat nilai budaya Bali di tengah deraan pandemi COVID-19. Marwah peradaban Bali harus didudukkan pada tempatnya agar generasi di masa yang akan datang tetap memahami jati diri ke-Bali-annya.
Nilai budaya krama Bali harus terus digaungkan bersamaan dengan tata kelola kebudayaan Bali. Dekonstruksi budaya harus disikapi sebagai sebuah peluang dalam membentuk paradigma baru atas peradaban Bali yang telah berlangsung secara turun menurun dalam bentuk adat-budaya tradisi leluhur. Merajut kembali berbagai stake holder adat dan budaya Bali menjadi langkah yang harus dilakukan secara simultan.
Penulis arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.
budaya bali sudah tidak punya pewaris untuk generasi mendatang.. disadari atau tidak akibat ulah generasi saat kini, termasuk para pemimpin yg cenderung mendewakan pariwisata “pipies aluh”, sebagai motor ekonomi bali..budaya menjadi barang komoditi yg dapat diperjual belikan, manakala terlihat usang, maka ditinggalkan, mencari bentuk lain.