Seorang petani memeriksa bibit padinya yang telah tertanam di Renon, Denpasar. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Banyak orang di dunia sudah mengenal Subak. Apalagi setelah Subak ditetapkan sebagai warisan dunia.

Namun kini kehidupan subak di Bali bagaikan kerakap hidup di batu karang. Hidup segan, matipun tak mau. “Karena sejatinya komponen subak itu ada lima, yaitu petani, sawah, air, pura subak, dan otonomi ke luar dan ke dalam. Tetapi kelima-nya sudah babak belur,” ujar Guru Besar Pertanian Unud, Prof. Wayan Windia, Senin (24/5).

Prof. Windia, menjelaskan bahwa terkait komponen tentang petani, tampaknya sudah menjadi rahasia umum. Tidak banyak orang yang suka bertani.

Apalagi generasi muda yang mindset-nya sudah dikuasai medsos dan handphone. Jumlah petani di Bali saat ini kurang lebih 500.000 orang. Bahkan, sebelum pandemi Covid-19 jumlahnya berkurang rata-rata 2 persen per tahun.

Namun, saat ini jumlahnya cenderung naik, karena mereka yang terlempar dari sektor pariwisata, terpaksa harus bertani. Kendati demikian, dipastikan pada saat sektor tersier mulai pulih kembali, mereka akan lari lagi dari sektor pertanian.

Terkait komponen Sawah, dikatakan bahwa berdasarkan Data dari Pemda Bali menunjukkan sawah di Bali berkurang rata-rata 2.800 ha/tahun. Bagitu drastis penurunannya.

Baca juga:  Harga Salak Bali Tembus Rp 10 Ribu Per Kg

Itu semua adalah karena adanya realitas, bahwa petani tidak bisa hidup dari sektor pertanian. Hal ini tercermin dari indeks Nilai Tukar Petani (NTP) di Bali, kurang dari 100. Itu artinya, petani tidak bisa hidup dari usaha taninya. Sehingga sangat manusiawi kalau mereka tidak suka bertani, kecuali terpaksa.

Dari kondisi air irigasi untuk pertanian (subak) juga sami mawon. Banyak para petani kekurangan air. Karena sangat banyak diambil untuk PDAM, atau air minum pedesaan.

Bahkan, Subak sama sekali tidak bisa berkutik terkait hal ini. Apalagi, lembaga sedahan dan sedahan agung sudah mati.

Sengaja dimatikan oleh Perda Nomor 9 tahun 2012 tentang Subak. “Untuk itu dapat dikatakan bahwa sekarang subak di Bali, bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Tidak ada induk senang bagi kelembagaan subak. Bagi aktivitas subak, mungkin banyak OPD yang berkait, tetapi tidak ada yang mengurus subak secara holistik termasuk kelembagaannya,” tandas Prof. Windia.

Baca juga:  SMSI Bali Minta Sosialisasi Pilkada Serentak lewat Media Online "Mainstream"

Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar ini, mengatakan saat ini hanya Pura Subak Bedugul dan Ulun Sui yang masih tetap eksis bangunannya. Ritualnya masih tetap dijaga oleh petani.

Bantuan Rp 50 juta per subak per tahun oleh Pemda Bali, mungkin hanya diperuntukkan bagi ritualitas. Hal ini nyaris tidak ada yang bisa dimanafaatkan untuk penguatan dan pemberdayaan subak. Belum termasuk kegiatan ritual di tingkat petani, yang jumlahnya sekitar 15 kali pelaksanaan ritual per musim tanam.

Sementara itu, terkait komponen hak otonomi subak, dikatakan sejatinya sistem subak diakui eksistensi otonominya dalam Perda Subak, dan bahkan dalam UUD sebagai masyarakat adat. Namun, intervensi yang di alami subak saat ini sangat luar biasa beratnya.

Kasus di Subak Jatiluwih misalnya. Pekaseh yang kuat ingin mempertahankan kelestarian subak, lalu diintervensi. Bahkan kepala desa ikut campur dalam proses penggantian sang pekaseh.

Hal yang sepadan terjadi pula di Subak Masceti Gianyar. Hak tradisional subak untuk mengelola kawasan parkir di kawasan Pantai Masceti diambil alih oleh desa adat.

Baca juga:  Gojek Percepat Transformasi Digital UKM Kuliner Bali

Bahkan kawasan sawah milik subak akan dipecah-pecah menjadi bagian dari desa adat. Padahal basisnya jelas berbeda.

Subak basisnya adalah batas hidrologis, dan desa adat/desa dinas basisnya adalah administratif. Sesuai tradisi (dresta kuna) loka Bali, subak dan desa adat masing-masing adalah masyarakat adat yang memiliki otonomi.

Prof. Windia, menegaskan bahwa untuk membangun sektor pertanian, memerlukaan kelembagan yang tangguh. Kelembagaan yang secara tradisional sudah teruji, adalah lembaga subak.

Subak terbukti dan teruji tatkala menyukseskan program Bimas dan Inmas pada Era Presiden Soeharto, yang mencapai level swasembada beras pada tahun 1984. “Lalu kenapa subak tidak diperhatikan lagi dalam berbagai program yang berkait dengan pertanian? Misalnya saja program Simantri (sistem pertanian terintegrasi, red) pada era kepemimpinan Gubernur Mangku Pastika. Malahan justru pada saat itu dibentuk lembaga baru yang namanya Gapoktan untuk menangani Simantri. Subak menjadi lembaga yang terpinggirkan,” pungkasnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *