Dr. I Gede Pasek Eka Wisanjaya S.H, M.H. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. I Gede Pasek Eka Wisanjaya S.H, M.H.

Era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 benar-benar menjamin hak kebebasan bagi rakyat, salah satunya adalah kebebasan berekspresi. Pada era reformasi saat ini nilai-nilai universalitas hak asasi manusia mendapat tempat untuk dihormati, dipenuhi dan dilindungi negara.

Saat ini banyak regulasi nasional fundamental telah dibuat oleh negara untuk mengimplementasikan nilai-nilai penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, baik di bidang hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini sejalan dengan semangat konstitusi negara yaitu Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang memberikan perhatian khusus terhadap penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia yang merupakan hal penting dalam sebuah negara demokrasi.

UUD 1945 mengatur prinsip demokrasi pada Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD dan prinsip negara hukum yang diatur pada Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya demokrasi dan negara hukum menjadi satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan.

Mewujudkan demokrasi yang ideal harus berdasarkan dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. Demokrasi dan negara hukum dalam sejarahnya memang lahir dari dua konsep kembar yaitu ‘kedaulatan rakyat’ dan ‘kedaulatan hukum’.

Baca juga:  Bali Masih Andalkan Pariwisata

Sinergi antara kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum itulah yang merupakan fondasi yang kuat dari bangunan negara modern pada abad 21 ini. Ciri sebuah negara disebut sebagai negara demokrasi menurut Jurgen Habermas adalah ketika negara tersebut dapat menghadirkan ruang publik yang bersifat netral. Salah satu contoh ruang publik yang bersifat netral adalah media sosial (medsos).

Pertanyaannya bagaimanakah kalau ruang publik (media sosial) ini disalahgunakan? Melalui medsos seseorang dapat melaksanakan hak kebebasan berekspresi berupa penyampaian pemikiran, pendapat, opini, ide dan gagasan, serta melakukan kritisi dan koreksi terhadap hal-hal yang merugikan dan menghambat pelaksanaan nilai-nilai hak asasi manusia.

Penulis melihat pada era demokrasi dan kekebebasan di Indonesia saat ini, pelaksanaan hak kebebasan berekspresi pada ruang publik seperti pada media sosial telah menimbulkan dampak yang membahayakan kebinekaan, nasionalisme dan persatuan kesatuan bangsa. Fakta menunjukkan begitu absolutnya hak kebebasan berekspresi individu pada media sosial dalam mengunggah (upload) opini, pemikiran, pendapat yang terkadang dipergunakan untuk hal-hal yang negatif berupa penyebaran berita bohong atau palsu (hoax/fake news), ataupun ujaran kebencian (hate speech) yang bersifat provokatif yang dilaksanakan secara masif serta bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) yang kemudian dapat menimbulkan disintegrasi atau kekacauan di masyarakat, bahkan dapat mengancam integritas persatuan dan kesatuan bangsa.

Baca juga:  Akademisi dan Kejujuran Akademik

Sejatinya pelaksanaan kebebasan yaitu hak kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam konteks negara demokrasi konstitusional adalah terdapat pembatasan-pembatasan. Pembatasan tersebut secara jelas telah diatur dalam konstitusi negara, yaitu Pasal 28 J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Melihat rumusan Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 tersebut, jelaslah dalam pelaksanaan kebebasan sebagai implementasi dari pelaksanaan hak asasi manusia yang salah satu contohnya adalah hak kebebasan berekspresi haruslah berlandaskan pada pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Artinya bahwa pelaksanaan hak kebebasan individu dalam berekspresi tidak boleh dilaksanakan secara absolut tanpa batas.

Baca juga:  Tata Ruang vs PPDB Zonasi

Mengutip pendapat Prof. Satjipto Rahardjo yang menyatakan ‘hak asasi manusia adalah universal dan memiliki struktur sosial. Suatu bangsa atau masyarakat akan menjalankan hak asasi manusia yang universal itu dengan modal sosial yang dimilikinya’. Jika dikaitkan dengan pendapat Prof. Satjipto Rahardjo, bahwasannya hak kebebasan individu dalam berekspresi di Indonesia haruslah memperhatikan struktur sosial kemasyarakatan yang dilandasi oleh etika, moralitas, nilai-nilai agama dan budaya.

Indonesia dalam konteks sebagai negara hukum yang demokratis, harus dimaknai bahwa demokrasi, kebebasan berekspresi dan hukum harus diletakkan dalam garis linier. Hendaklah selalu diingat bahwa pelaksanaan hak kebebasan berekspresi telah dibingkai dalam aturan hukum yang bertujuan untuk menghormati dan melindungi kebebasan dan hak asasi orang lain.

Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Hukum – Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *