Oleh Wayan Budiarsa Suyasa
Setiap orang adalah penghasil sampah. Sejalan dengan perubahan peradaban, gaya hidup yang semakin konsumtif, dan tingkat pendapatan yang meningkat, maka timbulan sampah yang dihasilkan semakin meningkat. Pada masa sekarang diperkirakan sampah yang dihasilkan perorang lebih dari 3 ton pertahun.
Jenis sampah yang dihasilkan pun semakin beragam. Di sisi lain kondisi alam mengalami kesulitan untuk menetralisirnya karena jumlahnya yang melimpah dan karakteristiknya sulit terurai secara alami.
Sayangnya kondisi tersebut tidak dibarengi dengan pengelolaan sampah yang baik. Pengelolaan sampah pada umumnya hanya dilakukan dengan dikumpulkan, diangkut dan dibuang ke tempat penanganan akhir (TPA). Dengan kata lain penanganan sampah hanya bertumpu pada TPA. Sebagai konsekuensi TPA menanggung beban yang sangat besar, jika dilakukan secara konvensional dan tidak sesuai dengan kapasitasnya akan berdampak buruk sebagai sumber pencemaran lingkungan.Sebaliknya dibutuhkan teknologi pengolahan bahkan hingga zero waste, namun tentu dibutuhkan anggaran yang besar untuk implementasinya.
Secara umum akar masalah dari buruknya pengelolaan sampah adalah berupa kelemahan pada berbagai aspek seperti keterbatasan anggaran, sistem manajemen yang belum optimal, lemahnya penegakan hukum, lemahnya peran serta masyarakat, keterbatasan lahan untuk fasilitas pengelolaan sampah, rendahnya tingkat penerapan teknologi ramah lingkungan, dan sebagainya.
Pengelolaan sampah dimulai dengan adanya timbulan sampah di sumbernya; kemudian dilakukan pewadahan dan pengumpulan sampah dari sumbernya ke tempat penampungan sampah sementara (TPS); selanjutnya sampah dari TPS diangkut dan ditimbun di TPA. Pada alur tersebut, dapat dikelompokan, pertama sampah dikelola di sumber sampah (individual rumah tangga, kantor, sekolah, dan sebagainya). Kedua, sampah dapat dikelola di TPS berbasis banjar/dusun dengan menjalankan fungsi TPS dan sistem 3R . Ketiga sampah dikelola secara terpusat berupa tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) skala besar di tingkat desa/kelurahan/desa adat. Pengelolaan sampah di sumber dan di TPS 3R memiliki ciri berupa kentalnya keterlibatan masayarakat mulai dari pemilahan hingga pengolahannya.
Untuk mendukung Keputusan Gubernur Bali Nomor 381/03-P/HK/2021 tentang pedoman pengelolaan sampah berbasis sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat, pengelolaan sampah idealnya dapat meliputi Pertama pada level individual rumah tangga antara lain meliputi kegiatan pemilahan, komposting, biogas, pemanfaatan melalui recovery dan recyclable material dalam bank sampah.
Pada level ini dibutuhkan partisipasi masyarakat minimal melakukan pemilahan sampah dan memanfaatkan sampah organik sesuai dengan ketentuan pengelolaan sampah yang harus sudah dimiliki oleh Desa/Kelurahan dan deaa Adat. Untuk menjamin partisipasi masyarakat, pihak Desa/Kelurahan dan deaa Adat dapat mempentuk unit/satuan tugas untuk melakukan sosialisasi dan pengawalan secara konsisten dan periodik.
Kedua pegolahan sampah di hulu juga meliputi pengelolaan sampah skala komunal yang tersebar di dekat sumber sumber sampah. Skalanya umumnya kecil dan cenderung dioperasikan secara manual dengan prinsip dekat dengan sumber sampah (proximity principle) dan berbasis masyarakat (community-based). Pengelolaan sampah skala komunal atau skala lingkungan umumnya dilakukan di TPS yang fungsinya diperluas sebagai tempat daur ulang sampah dan komposting.
TPS yang demikian dalam peraturan persampahan disebut sebagai TPS 3R.Kandala yang dihadapi pada level ini adalah penyediaan lahan dan sistem manajemen yang menjamin operasional TPS 3R secara berkelanjutan. Untuk penyediaan lahan pemerintah Kabupaten/Kota sebaiknya turun tangan secara langsung memberi dukungan pada Desa/kelurahan dan Desa Adat yang memiliki lahan untuk dapat dimanfaatkan sebagai fungsi pengelolaan sampah yang jika dikelola dengan baik akan memberi manfaat ekonomi dan yang lebih penting manfaat sosial dan lingkungan.Demikian juga perlu dilakukan upaya peningkatan sumberdaya manusia dalam sistem manajemen berkelanjutan dengan pembinaan, pendampingan dan pemberdayaan.
Namun demikian pengelolaan sampah skala kota kedepan juga harus diupayakan mengingat pertumbuhan dan pertambahan penduduk semakin meningkat semakin mendekatkan Denpasar sebagai kota Metropolitan (penduduk 1 – 5 juta). Pengelolaan sampah skala kota tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus terintegrasi dengan pengelolaan sampah di skala individual dan skala kawasan (TPS 3R).
Pengelolaan sampah skala kota yang dilengkapi dengan teknologi pembakaran yang menghasilkan listrik atau pembangkit listrik tenaga sampah yang dapat menangani residual sampah dan hasil mining TPA sehingga penanganan sampah mendekati nir-sampah (zero waste) tentunya membutuhkan anggaran yang besar. Namun demikian budaya di level individual dalam mengelola sampah menjadi kunci keberlanjutan penerapan pengelolaan sampah.
Penulis Dosen di Universitas Udayana