DENPASAR, BALIPOST.com – Hingga saat ini, masih saja ada yang meremehkan penyakit COVID-19. Padahal, menurut ahli virologi Universitas Udayana, Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika, virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh dan bisa menginfeksi semua jaringan tubuh manusia.
Karena itu, ketika terkena virus corona, akan ada risiko kerusakan jaringan tubuh dalam jangka panjang sehingga menyebabkan gangguan respons imun (imunosupresi) dan gangguan saraf. “Karena itu mohon jangan lagi menganggap remeh penyakit COVID-19 ini,” pesannya dalam Dialog Produktif Kabar Kamis : Long Covid: Kenali dan Waspadai yang disiarkan kanal YouTube FMB9ID_ IKP, Kamis (3/6) dipantau dari Denpasar.
Ia mengatakan karena obat dari penyakit ini belum ada, vaksinasi menjadi upaya pengendalian pandemi. Disebutkannya, efektivitas vaksinasi di beberapa negara terbukti cukup berhasil. Terkendalinya pandemi di beberapa negara ini, tentunya sejalan dengan cakupan vaksinasi yang sudah cukup luas.
Mahardika menyebut, di Indonesia, baru 5 sampai 6 persen dari target populasi sudah mendapat dosis kedua. “Di Inggris cakupan vaksinasinya di atas 50 persen dan Amerika di atas 50 persen. Di negara-negara yang cakupan vaksinasinya sudah di atas 50 persen, maka risiko untuk mengembangkan gejala COVID-19 berat, kritis, hingga fatalitas, jauh menurun. Jadi vaksinasi ini, target utamanya adalah bukan menghindari infeksi tapi untuk menurunkan risiko gejala klinis sedang sampai berat dan menurunkan risiko kematian,” jelasnya.
Awal Januari 2021, kasus di Inggris hingga 70.000, sekarang hanya 2.000-3.000 kasus per hari. Ia pun mengatakan berkaca pada vaksinasi bagi tenaga kesehatan di Indonesia yang cakupannya sudah mendekati 100 persen untuk dosis kedua, kasus COVID-19 telah jauh menurun dibandingkan dengan sebelum vaksinasi. “Jadi pandemi akan segera kita bisa akhiri dengan vaksinasi tentunya dengan cakupan di atas 50 persen dari penduduk apalagi kalau mencapai lebih dari 70 persen,” terang Prof. Mahardika.
Meskipun sudah 50 persen, ia mengingatkan agar protokol 3M, yaitu Memakai Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan, tidak boleh dilonggarkan. “Karena memakai masker, misalnya, akan mencegah kita terhadap penyakit menular, tidak hanya COVID-19 tapi juga influenza dan penyakit-penyakit lainnya,” ujarnya.
Ia juga mencontohkan bagaimana herd immunity terbentuk pada pandemi sebelumnya. “Ada pandemi yang disebut Spanish Flu. Indonesia juga terdampak, tetapi pada waktu itu tidak ada vaksin. Yang terjadi adalah pandemi berlangsung tiga tahun dan berakhir dengan herd immunity. Jadi imunitas yang disebabkan oleh penularan virus itu sendiri,” ujarnya.
Pandemi besar lainnya yang menurut Prof. Mahardika juga berakhir dengan terciptanya herd
immunity yaitu Flu H1N1 pada 2009. “Tapi itu pandemi yang ringan (mild). Memang cepat sekali menular ke seluruh dunia, tetapi tidak menimbulkan gejala klinis yang berat dan kemudian juga selesai karena herd immunity alamiah,” ujarnya.
Disebutkannya, herd immunity, baik yang alami maupun yang buatan akan membuat pandemi COVID-19 ini lebih cepat terkendali. “Asumsinya tanpa vaksin itu 3 tahun, maka dengan vaksin dalam 1,5 tahun sudah berakhir. Sekali lagi saya berharap sekali vaksin itu akan menyebabkan kita keluar dari cekaman pandemi ini,” harapnya. (Diah Dewi/balipost)