Oleh Kadek Suartaya
Babi (porcus) bagi sebagian masyarakat dunia digolongkan sebagai binatang mahluk ciptaan Tuhan yang hina dan haram. Walau demikian, hewan celeng– berhidung besar dan bertelinga lancip–pada sebagian masyarakat manusia yang lainnya, memiliki peran, posisi serta makna tersendiri. Bukan hanya karena dagingnya–bagi penyukanya–dikatakan terenak di dunia, namun keberadaannya telah dituturkan dalam beberan peradaban manusia.
Tentang babi ngepet misalnya, setidaknya “berkontribusi” mewarnai folklor Nusantara, yang, ketika sewaktu-waktu muncul ke permukaan seperti kasus di Depok itu, menyodorkan suatu pembacaan dari gambaran kondisi-situasi sosial-ekonomi-kultural bahkan politik. Wajarlah, bila psiko-imaji alam pikiran babi ngepet masyarakat itu, salah satunya, dikerling secara komersial, misalnya, dalam industri hiburan film dan sinetron.
Mitologi Hindu menempatkan babi dengan begitu mulia. Dituturkan pada zaman Satyayuga (kebenaran) Dewa Wisnu ber-awatara menjadi babi. Alkisah, raksasa Hiranyaksa yang maha sakti hendak menenggelamkan bumi. Untuk menggagalkan kiamat dunia itu, Dewa Wisnu menjadi Waraha, babi hutan besar.
Kedua taringnya yang panjang mecuat menopang bumi yang dilemparkan oleh Hiranyaksa. Raksasa adik Hiranyakasipu ini pun murka. Peperangan antara Dewa Wisnu dengan Hiranyaksa berlangsung sengit selama ribuan tahun yang akhirnya dimenangkan oleh Dewa Wisnu dengan mengembalikan bumi ke posisinya semula.
Salah satu karya sastra Hindu karangan Mpu Kanwa juga menghadirkan babi. Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha yang ditulis pada zaman pemerintahan Raja Airlangga di Jawa Timur, 1019-1042 Masehi, babi muncul saat Arjuna bertapa di gunung Indrakila. Babi siluman raksasa Momosimuka utusan Niwatakawaca menghancurkan pertapaan Arjuna.
Tak terima dengan amukan babi itu, Arjuna membentangkan panah membunuh babi Momosimuka. Tetapi, ternyata bukan hanya anak panah Arjuna yang membinasakan babi itu melainkan ada pemburu lain yang juga sama-sama mengklaimnya.
Setelah sempat bersitegang, Arjuna segera sadar, pemburu renta yang dihadapinya bukan sembarang orang. Benar saja, sang pemburu berubah wujud menjadi Dewa Siwa. Kehadiran babi pada bagian kisah ini sebagai unsur dramatik memperkuat keteguhan tapa semadi Arjuna.
Dalam guratan kisah semi sejarah Bali, babad, babi digambarkan sebagai kepala dari tubuh seorang Raja Bali Kuna terakhir, Sri Topolung. Saat bertapa di kaki Gunung Batur, kepala raja lenyap menuju sorga. Rakyat yang khawatir, kemudian mengganti kepala yang hilang dengan kepala babi. Selang tiga hari, tiba-tiba kepala raja muncul dan marah mendapati tubuhnya berkepala babi.
Para pengkaji teks, menginterpretasikan cerita Raja Bedahulu ini secara lebih kritis. Cerita raja berkepala babi ini dipersepsikan sebagai simbolisasi dari sikap Raja Bali Kuno terakhir itu yang tidak mau mengakui supremasi kekuasaan Majapahit. Sang raja ingin menempatkan Bali sebagai kerajaan berdaulat dan merdeka, terbebas dari cengkeraman kekuasaan luar. Walau begitu, kisah raja Bali berkepala babi tersebut masih sering digambarkan dalam seni pertunjukan Bali, seperti dalam tari Topeng.
Sejumlah seni pertunjukan lainnya dengan penggambaran babi diwarisi masyarakat Bali dengan penuh takzim. Di Bali Timur, sampai sekarang masih dapat dijumpai tari sakral yang disebut Sanghyang Celeng. Ritual tolak bala ini dihadirkan ketika masyarakat desa didera wabah penyakit gaib.
Sanghyang Celeng dibawakan dalam keadaan trance (kerauhan) oleh seorang pria yang sekujur tubuhnya berbalut ijuk hitam. Gerak-gerik tariannya menyerupai jingkrak sergap babi mendengus menyusuri parit-parit dalam kegelapan.
Segenap masyarakat Desa Duda, misalnya, secara bersama-sama ngiring (mengikuti) perjalanan Sangyang Celeng berkeliling. Sementara itu, selain dalam wujud tari sanghyang, babi juga digambarkan dalam Barong Bangkal (jantan) dan Barong Bangkung (betina). Barong ini umumnya dikeramatkan, yang, lazimnya dapat dipergoki dalam tradisi ngelawang saat perayaan Galungan dan Kuningan.
Di Bali, babi juga berkelebat pada alam mistik, seperti halnya babi ngepet yang umumnya membayangi masyarakat Jawa. Konon, praktisi black magic yang bisa menjadi babi, ilmu leak-nya masih kelas bawah—yang berada di tingkat paling atas adalah bisa menjadi Rangda.
Akan tetapi—kini di tengah desiran rasionalitas-logik, bayang-bayang bergidik leak, semakin jarang terdengar kabarnya, di desa dan pegunungan sekalipun. Tengoklah, siluman leak lebih sering dapat disaksikan dalam seni pertunjukan Calonarang.
Sejatinya masyarakat modern, pada umum, sudah mulai pulih dari irasionalitas yang mengebiri nalar. Terbukti kemudian, melalui pengusutan pihak kepolisian, kehebohan babi ngepet di Depok itu diskenario, dimainkan oleh sejumlah “aktor” lokal dengan tujuan tak jelas alias ngawur. Namun, begitu mudahnya masyarakat kita ikut menjadi “figuran” pada skenario babi ngepet itu, menunjukkan masih halunya bangsa ini.
Penulis Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar.