K Swabawa. (BP/Istimewa)

Oleh K. Swabawa, CHA

Rural tourism yang sempat menjadi trend dunia seiring program The UNWTO Recommendations on Tourism and Rural Development (2017) membawa angin segar bagi pertumbuhan desa wisata di Indonesia. Seiring merespons dampak perubahan perilaku manusia yang membutuhkan tempat wisata yang “sehat” dan low risk Covid destination akibat pandemi ini, pemerintah Indonesia tak tanggung-tanggung memasukkan program pengembangan desa wisata dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Republik Indonesia (RPJMN RI) 2020-2024.

Tercatat ada 244 desa wisata di seluruh Indonesia dikembangkan melalui program ini dan tersebar di 5 destinasi super prioritas serta destinasi unggulan termasuk Bali tentunya. Secara geograpis, desa memiliki kualitas udara atau oksigen yang baik, sinar matahari yang banyak akibat sedikit atau tidak adanya gedung-gedung menjulang tinggi yang menghalangi sinar matahari, mobilitas penduduk cenderung sektoral serta populasi warga yang menyebar dan tidak sepadat pemukiman di perkotaan.

Hal demikian merupakan kondisi dimana sebuah tempat memiliki risiko rendah penyebaran virus. Sementara dari aspek psikograpis untuk kepariwisataan, desa merupakan ekosistem otentisitas dan orisinalitas kebudayaan, tradisi, seni dan berbagai kearifan lokal selain keindahan alam yang asri dan menakjubkan. Dari aspek geograpis dan psikograpis ini kita bisa harapkan bahwa desa wisata dapat menjadi ikon dalam paradigma baru industri pariwisata di dan pascapandemi ini.

Baca juga:  Problem Migrasi Iklim

Kelemahan desa wisata selama ini adalah masih rancunya kriteria dan elemen yang harus dipenuhi. Ada yang hanya karena ada air terjun atau sawah yang indah, langsung jadi desa wisata. Jika mengacu pada UU No. 10 tahun 2019 tentang Kepariwisataan maka lokasi demikian disebut Daya Tarik Wisata (DTW) yakni suatu wilayah yang menawarkan potensi wisata untuk menarik wisatawan berkunjung. Berbeda dengan desa wisata yang secara karakteristik menampilkan fasilitas wisata khas daerah dan melibatkan masyarakat di desa setempat.

Ada tiga tahapan elemen utama yang harus dipenuhi dalam pengembangannya agar dapat mencapai tujuan desa wisata yang mandiri dan mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Tahapan pertama adalah pemenuhan fasilitas, sarana dan prasarana meliputi aksesabilitas, amenitas dan atraksi. Kedua adalah sistem kelembagaan, sumber daya manusia, keterlibatan masyarakat serta sistem tata kelola. Terakhir meliputi aspek pemasaran dan penjualan atau pemenuhan sisi ke-ekonomi-an desa wisata itu sendiri.

Baca juga:  “Kasepekang” Sepek-Sepak

Ketiga tahapan elemen di atas merupakan rangkaian dalam mewujudkan desa wisata yang mandiri dan berkelanjutan. Desa wisata bukan hanya sekadar destinasi wisata, namun dapat menjadi rumah kedua bagi wisatawan (residential traveler) dalam suasana kearifan lokal yang otentik dan unik. Penggunaan dana desa dalam pembangunan wilayah juga dapat menghasilkan manfaat yang eksponensial.

Bukan hanya dinikmati sebagai kebutuhan masyarakat saja, contohnya pembangunan jalan desa atau jalan pertanian di persawahan. Namun jika potensi wisatanya digarap maka pembangunan jalan tersebut juga sekaligus dimanfaatkan sebagai akses wisatawan di desa wisata. Terkait alokasi dana desa ke pengembangan desa wisata telah diatur dalam Permendesa PDTT No. 13 tahun 2020, dalam Bab II Pasal 6 ayat 2(b) disebutkan bahwa prioritas alokasi dana desa tahun 2021 dapat digunakan untuk pengembangan desa wisata untuk pertumbuhan ekonomi desa yang merata.

Baca juga:  20 Persen Desa Wisata di Bali Siap Terima Kunjungan Wisatawan

Manfaat lainnya dalam pengembangan desa wisata selain pada aspek ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat adalah di bidang pelestarian alam dan nilai luhur kearifan lokal bangsa Indonesia. Secara bertahap kerusakan alam akibat ulah manusia (membuang sampah dan memotong pohon sembarangan, pembangunan yang melanggar tata ruang, perburuan satwa langka yang dilindungi, dan lainnya) akan dapat dikurangi dan dihindari.

Dari 244 desa wisata dipilih 67 desa yang akan didampingi selama tahun 2021 ini dan sisanya berlanjut hingga akhir 2024. Terdapat 14 komunitas dan 20 perguruan tinggi negeri dan swasta seluruh Indonesia yang menjadi mitra Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia dalam program ini. Proses yang telah berjalan cukup baik meliputi pemetaan masalah masing-masing desa dan identifikasi analisa SWOT, menyusun daftar kompetensi yang dibutuhkan masing-masing desa, menyusun rencana aksi hingga penugasan tenaga pendamping.

Penulis, Ketua Pokja Nasional Pengembangan Desa Wisata Komunitas DPP MASATA Bersama Kemenparekraf RI

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *