Vonis
Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Selain karena faktor ketidakcocokan, kasus perceraian dipicu kehadiran orang ketiga. Kerap kali kasus perceraian yang masuk ke pengadilan itu karena rumah tangga mereka diselingi aksi perselingkuhan.

Tidak hanya suami yang melakukan gugatan, namun banyak juga para istri yang mendaftarkan gugatan ke pengadilan karena tidak tahan diduakan, dimadu atau karena sang suami memilih hidup dengan wanita lain. Bahkan, belakangan ini muncul, kasus perceraian tidak semata-mata karena hadirnya pihak ketiga.

Di era pandemi COVID-19 ini, faktor ekonomi menjadi salah satu bagian dari keretakan rumah tangga mereka. Memang, dalam kasus perceraian di PN Denpasar, sidangnya dilakukan secara tertutup untuk umum. Hal itu dilakukan semata-mata karena untuk menutupi aib pasangan suami istri yang digugat cerai. Apalagi, ada KDRT yang melatarbelakangi kasus tersebut.

Baca juga:  Kerangka Manusia di Hutan TNBB, Diduga Korban Gantung Diri

Menurut Humas PN Denpasar, I Made Pasek, Senin (21/6), pada 2020 perkara perdata dari wilayah Badung dan Denpasar yang masuk ke PN Denpasar sebanyak 1.224 kasus. Perceraian merupakan salah satu kasus perdata.

Dari 1.224 kasus tersebut, 1.262 telah diputus. Angka tersebut termasuk tunggakan tahun 2019 yang diselesai pada tahun 2020.

Dari 1.224 yang masuk, 895 merupakan perkara perceraian. “Pada tahun 2020, ada sebanyak 895 perkara perceraian dan sudah diputus,” kata hakim senior PN Denpasar, Made Pasek.

Di 2021, kasus perceraian ternyata naik tajam dan masih mendominasi gugatan yang masuk dari Badung dan Denpasar. Hingga Juni 2021, kata Jubir PN Denpasar, Made Pasek, gugatan yang masuk mencapai 639 gugatan perdata.

Baca juga:  Kedaruratan COVID-19 Berakhir, Masyarakat Diminta Tak Salah Menerjemahkan

Dari jumlah tersebut, didominasi kasus perceraian. “Tahun 2021, sampai saat ini kasus perceraian yang sudah masuk sebanyak 453 gugatan perceraian,” katanya.

Informasi yang didapat, kasus perceraian yang masuk persidangan dilatarbelakangi berbagai motif. Selain karena faktor ekonomi akibat pandemi juga karena adanya keretakan dalam membina rumah tangga karena orang ketiga dan juga karena KDRT.

Salah satu praktisi hukum yang sering menangani kasus perceraian, Charlie Usfunan, S.H.,M.H., membenarkan bahwa kasus perceraian itu faktor utamanya karena alasan ekonomi. “Memang benar sumber utamanya sebagian besar karena faktor ekonomi. Ini bisa memicu pertikaian dalam rumah tangga. Sehingga ujungnya karena ada ketidakpuasan salah satu pihak, maka mereka mengajukan gugatan ke pengadilan,” ucap praktisi hukum yang juga promotor tinju ini.

Baca juga:  Rekomendasi Turun, Hanura Siap Kawal Kemenangan Dana-Artha

Lebih jauh dikatakan, bahwa faktor ekonomi itu dampaknya sangat besar. Mulai dari adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), juga curhatan hingga muncul adanya pihak ketiga. “Ya, awalnya masalah ekonomi dan berujung KDRT. Ada juga karena faktor ekonomi, mereka curhat hingga muncul pihak ketiga. Ujungnya cerai,” ucap Charlie.

Hal itu sejatinya sangat disayangkan. Karena selain hancurnya rumah tangga mereka, yang menjadi korban perceraian itu adalah si anak. “Anak lah sejatinya menjadi korban,” ucap Charlie. (Miasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *