Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Telah banyak ulasan tentang Bung Karno, termasuk gerakan mengingatkan kembali lahirnya Pancasila oleh Bung Karno di Ende, Flores, pada 1 Juni lalu. Sebagai pelengkap sekaligus menggali relevansi peringatan Haul Bung Karno, dimensi turisme juga menjadi medan perjuangan Bung Karno semasa memimpin Republik ini.

Jika Bung Karno memiliki nama besar di dunia pada masanya, dapat disebutkan berbagai kiprahnya dalam pergaulan global. Kecerdasan Bung Karno tidak semata-mata jago lobi dan berbahasa asing, tetapi tepat melakukan positioning dan membangun sinergi (networking) dengan bangsa-bangsa di dunia.

Pada masa Bung Karno, Indonesia sebagai negara baru mutlak membutuhkan pergaulan global guna mendapat pengakuan yang sejajar di antara bangsa-bangsa. Pilihan Bung Karno melakukan ‘kinerja kebudayaan’ untuk merangkul bangsa-bangsa dapat dilihat melalui even-even internasional yang dihelat di Indonesia.

Sebut misalnya Ganefo, KTT Asia Afrika dan KTT Non Blok yang melegenda dan tertancap kuat dalam sejarah negara-negara kecil yang kontra dengan kekuatan blok barat, merupakan ‘warisan monumental’ presiden pertama negeri ini.

Wikipedia mencatat, Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KAA) adalah sebuah konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dulu Burma), Sri Lanka (dulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.

Baca juga:  Harapan Baru Layanan Pendidikan

Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengkonsultasikan dengan mereka tentang keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.

Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung, yang berisi tentang “pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia”. Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru. Sejarah mencatat, konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961.

MICE ‘Legacy’ Presiden

‘Model’ yang dikembangkan Bung Karno tampaknya juga ditiru oleh para penerusnya. Semasa kepemimpinan Presiden SBY rajin melakukan pertemuan internasional di Indonesia. Melalui kementerian terkait, di bawah kepemimpinan SBY telah terjadi ratusan pertemuan berskala internasional, baik pertemuan pemerintahan maupun bisnis. MICE atau meeting, incentive, conference, event and exhibition, kian berkibar pada masa SBY.

Baca juga:  Hadapi Resesi Kurangi Resepsi

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada masa itu mencanangkan sebagai The Year of MICE. Banyak meeting dan acara internasional yang menempatkan Indonesia sebagai tuan rumah. Dua di antaranya, forum tingkat tinggi Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) dengan tema Ketahanan Asia Pasifik sebagai Mesin Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Dunia, dan ajang ratu kecantikan Miss World.

Dari sisi infrastruktur, Bali yang menjadi tuan rumah perhelatan tersebut terus berbenah, bandara yang sedang dibangun sudah on track, jalan tol di atas permukaan laut dan underpass di Bali sebagai tempat penyelenggaraan juga siap sebelum perhelatan KTT APEC. Demikian halnya infrastruktur pendukung, salah satunya media center, dipastikan siap mendukung kesuksesan acara bergengsi tersebut. 10 kota besar di Indonesia selain Bali menjadi tuan rumah berbagai pertemuan APEC pada Oktober 2013.

Selain even puncak, banyak acara dan pertemuan internasional di bidang musik, seni pertunjukan, ataupun seminar yang substansinya serius serta pertemuan tingkat menteri atau pejabat tinggi yang dilakukan di seluruh Indonesia. 10 kota tersebut adalah Lombok, Medan, Palembang, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Manado, Makassar, Semarang, dan Surabaya.

Lompatan pertumbuhan industri MICE sebagai salah satu pendukung industri pariwisata di Indonesia semakin terasa sejak tahun 2011. Kala itu Indonesia sebagai Ketua ASEAN menjadi tuan rumah lebih dari 600 perhelatan internasional sepanjang tahun 2011-2013, selain juga penyelenggaraan East Asia dan ASEAN Summit.

Baca juga:  Menimbang Tiga Pengganti Pak Koster

Presiden SBY saat itu juga mengingatkan agar para menteri mencarikan tempat lokasi meeting selain Jakarta dan Bali untuk mengenalkan berbagai destinasi wisata Tanah Air kepada dunia. Penyelenggaraan even MICE berskala internasional di Indonesia memperkuat positioning dan branding Indonesia sebagai tujuan wisata MICE tingkat dunia. Dalam pariwisata, MICE merupakan produk unggulan karena kegiatan itu menghasilkan devisa dan pendapatan daerah lebih besar dibandingkan pengeluaran wisatawan biasa yang datang ke Indonesia.

Wisatawan MICE pada umumnya mempunyai pengeluaran (spend of money) yang tinggi dan lama tinggal (length of stat) lebih panjang. Sehingga, secara keseluruhan waktu dan pengeluaran mereka lebih besar. Dalam KTT UNFCCC di Bali beberapa tahun lalu misalnya, ada sejumlah kegiatan pendukung, baik berupa side event maupun parallel event.

Kini, mengingat Bung Karno tidak hanya sebagai Bapak bangsa, Proklamator dan Presiden RI pertama, tetapi juga Bapak MICE Indonesia. KTT Asia Afrika, tidak semata-mata mengenang kepeloporan dan kepemimpinan Indonesia dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Termasuk di dalamnya, warisan kepemimpinan Presiden Soekarno.

Penulis Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *