Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A
Pemerintah telah mengumumkan pembelajaran tatap muka terbatas yang akan diberlakukan mulai Juli mendatang. Kebijakan yang diambil adalah kegiatan pembelajaran hanya melibatkan 25% siswa dan akan dilakukan dua kali seminggu selama dua jam saja.
Kebijakan tersebut tampaknya banyak mendatangkan kecemasan bagi para orangtua yang harus mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah, walaupun orangtua sesungguhnya dapat memutuskan mengizinkan atau tidak anak-anak mereka ke sekolah.
Di saat kasus pandemi Covid-19 melonjak di beberapa tempat, justru pemerintah mengeluarkan kebijakan yang terkesan kontradiktif. Jangankan dua jam, orang bisa tertular dalam hitungan 5 menit bila ada di antara peserta didik yang menjadi OTG, kemungkinan mereka bisa menyebarkan kepada orang dewasa (guru).
Kebijakan baru tersebut tentu berpotensi memperpanjang rantai penyebaran Covid-19 lewat klaster sekolah. Memang pemerintah juga telah gencar memberikan pelayanan vaksinasi kepada semua guru, namun tidak kepada anak-anak, karena ditengarai anak-anak tidak berisiko tinggi dalam penularan virus.
Tetapi mereka bisa terkena dari orang dewasa di sekitar mereka, yaitu guru dan pegawai, yang tentu saja berdampak mereka yang akan menjadi OTG dan menyebarkan kepada keluarganya di rumah atau sekitarnya.
Kebijakan tersebut memang dilematis. Kegiatan pembelajaran dari rumah yang telah dilakukan sejak setahun lalu ditengarai mengalami berbagai kendala. Antara lain banyak siswa yang bermasalah tidak ada koneksi, tidak punya fasilitas pendukung, dan masalah biaya untuk pembelian kuota pulsa.
Termasuk secara pedagogis, banyak orangtua juga tidak mampu untuk menjadi pembimbing yang baik dalam membantu anak-anak mereka belajar secara maksimal dari rumah, karena orangtua juga bekerja. Anak-anak juga kehilangan kehidupan sosial mereka, sehingga mereka juga dapat bermasalah secara psikologis.
Kendala lain yang cukup sulit adalah monitoring dan evaluasi. Guru susah mengetahui siapa yang mengerjakan tugas yang diberikan baik secara daring atau luring. Tampaknya sering tugas yg diberikan kepada anak-anak, lebih banyak orangtua yang memberikan jawaban dibandingkan anak-anak belajar menemukan bagaimana menjawab melalui arahan orangtua.
Ini juga karena mereka banyak yang ingin cepat menyelesaikan tugas dengan bantuan orangtua daripada memahami cara menemukan jawaban sendiri, karena mereka ingin cepat dapat bermain gadget atau lainnya daripada belajar
Beberapa permasalahan di atas tampaknya menjadi pemikiran para penentu kebijakan di negeri ini untuk mengembalikan nafas kehidupan akademik pada ruang yang semestinya secara gradual.
Sebuah idealisme yang sepertinya sudah lama dibahas sebelum diluncurkan. Kita memang patut menghargai keputusan pemerintah tersebut. Namun demikian, mencermati jumlah siswa yakni 25%, dam waktu yang ditentukan yaitu 2 jam dalam 1 minggu, hal ini juga menimbulkan tanda tanya di benak para akademisi, bagaimana pengaturan mereka, terutama di sekolah-sekolah yang banyak jumlah siswa.
Lalu waktu hanya 2 jam dalam 1 minggu, pelajaran apa saja yang akan diprioritaskan dalam rentang waktu yang pendek tersebut? Apakah itu efektif? Belum lagi siswa harus melaksanakan protokol kesehatan yang super ketat dengan menggunakan masker dan face shield, bukankah itu tidak nyaman bagi mereka belajar dengan kondisi seperti itu?
Realitas yang harus dihadapi adalah pembelajaran memang harus diupayakan untuk berlangsung lebih baik. Namun, lonjakan kasus Covid-19 yang sudah menghasilkan varian-varian baru mestinya juga menjadi pemikiran para pemangku kebijakan.
Kalau kita mengacu pada teori kerucut kebutuhan Abraham Maslow, mestinya pemerintah lebih memfokuskan pada kebutuhan akan rasa aman daripada kebutuhan akan aktualisasi diri. Yang dimaksudkan di sini adalah kebutuhan akan rasa aman, yaitu terhindar dari virus mematikan yang dapat membahayakan kehidupan anak-anak mestinya menjadi prioritas daripada kebutuhan yang lebih di atas.
Pendidikan adalah salah satu kebutuhan aktualisasi diri, yang dapat dipenuhi setelah rasa aman terpenuhi. Dengan demikian, berpikir pragmatis untuk terhindar dari bahaya COVID-19 tampaknya lebih penting daripada berpikir idealis untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka.
Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha