Viraguna Bagoes Oka. (BP/Dokumen)

Oleh : Viraguna Bagoes Oka

Hampir setiap hari muncul pertanyaan dan harapan di masyarakat dalam beberapa minggu terakhir ini tentang isu kapan pariwisata Bali pulih? Kapan tourism border banned dibuka pemerintah? Bagaimana dengan WFB dan bagaimana nasib industri pariwisata Bali pascapandemi dan seterusnya?

Pertanyaan-pertanyaan penuh harap ini sangatlah wajar dan mendesak bagi masyarakat Indonesia khususnya Bali mengingat kehidupan masyarakat Bali hampir 98 % sangat tergantung kepada industri pariwisata. Masyarakat Bali hampir di seluruh sentra kehidupannya sangat terpengaruh dan terpukul telak oleh kolaps-nya industri pariwisata, mulai dari hotel, resort, vila, travel, pendidikan, bisnis rekreasi, lembaga keuangan (bank/non bank), restoran, hingga usaha kecil dari kota hingga di pelosok desa terkena dampak langsung oleh tumbangnya industri pariwisata Bali.

Namun di tengah kegalauan dan keputusasaan masyarakat, saat ini masih banyak muncul optimisme dan antusiasme di kalangan masyarakat, pemimpin, politisi hingga pengusaha kecil/besar yang tetap semangat dan bertekad kuat mendorong pemerintah untuk membuka pintu pariwisata domestik dan mancanegara sesegera mungkin sebagai satu-satunya solusi untuk bisa mendorong pulihnya pariwisata dan perekonomian/ dunia usaha Bali dengan semangat Bali Bangkitnya.

Di balik semua harapan dan antusiasme atas bisa pulihnya pariwisata dan Bali Bangkit, ada beberapa permasalahan mendasar yang patut dan wajib kita sadari dan pahami secara jernih antara lain :

Pertama, bahwa semua pakar dan ahli di bidang kesehatan telah mengatakan bahwa wabah Covid-19 beserta turunannya ini diprediksi akan berlangsung lama dan bahkan bisa menjadi permanen yang mengakibatkan kita harus mau bersabar dan siap untuk berubah dangan perilaku, sikap dan budaya hidup baru berbasis prokes permanen paling tidak hingga tuntasnya pelaksanaan vaksinasi oleh pemerintah yang diperkirakan akan selesai pada pertengahan tahun 2022.

Kedua, Walaupun vaksinasi sudah akan terlaksana dengan lengkap di seluruh Indonesia pada pertengahan tahun 2022 tersebut, namun tidak bisa dijamin bahwa mereka yang sudah divaksin akan bisa terbebas dari ancaman virus Covid-19 tersebut sehingga mau tidak mau masyarakat harus dan diwajibkan untuk tetap waspada dan disiplin menerapkan tata cara hidup baru berbasis prokes 3-5M. Sehingga mau tidak mau kita harus ikhlas bisa menerima keadaan ini dan sudah pasti kita wajib patuh dan konsekuen melaksanakannya agar bisa cepat beradaptasi serta menjalani hidup era baru dengan ikhlas, semangat kreatif serta tetap tangguh sehingga kita bisa segera beranjak menuju kehidupan perekonomian dan dunia usaha Bali era baru yang lebih baik.

Baca juga:  Siapkah Bali Bangkit Tanpa Pariwisata?

Ketiga, Pariwisata Bali yang menjadi tumpuan utama masyarakat Bali dapat dipastikan tidak akan bisa pulih dalam jangka waktu dekat dan kalau toh ada mukjizat baru akan bisa pulih paling cepat dalam 3-5 tahun ke depan, mengingat antara lain: wabah Covid-19 yang telah berlangsung hampir 1,5 tahun ini terlanjur memukul sendi-sendi perekonomian dan dunia usaha tanpa ada langkah preventif dan tindakan nyata yang optimal di awal terjadinya pandemi (seperti tidak ada bantuan likuiditas terhadap lembaga keuangan selaku motor penggerak ekonomi, pelaksanaan vaksinasi yang jauh dari memadai dan kebijakan keringanan supportif pemerintah kepada dunia usaha yang belum optimal).

Sehingga dengan berlangsungnya pandemi hampir 15 bulan di seluruh dunia telah menyebabkan kerusakan struktur ekonomi negara yang semakin dahsyat terhadap semua tatanan kehidupan umat manusia di seluruh dunia, regional dan lokal atas trauma kematian, kehilangan pekerjaan (PHK), macetnya kredit lembaga keuangan bank/ nonbank hingga trauma keterpurukan berkepanjangan yang telah menghinggapi semua lapisan umat manusianya.

Pariwisata Bali yang tidak akan segera pulih, akan membuat tekanan ekonomi makin panjang. Akibatnya untuk melakukan perbaikan dan pemulihan ekonomi dan dunia usaha akan memerlukan waktu yang lebih panjang untuk bisa mulai mengembalikan rasa percaya diri masyarakat dalam menghadapi kehidupan baru, cara kerja dan pola pikir baru, untuk mulai bisa dapat pekerjaan baru, mulai bisa menghidupi kebutuhan fisik minimum /utamanya hingga bisa berhasil bekerja efektif/produktif.

Selanjutnya setelah tahap tersebut terwujud, barulah masyarakat mulai bisa menabung termasuk menyisihkan penghasilannya untuk kebutuhan sekunder dan tersier termasuk berwisata ke manca negara seperti Bali, dengan catatan sepanjang infrastruktur transportasi udara juga sudah bisa pulih serta kepercayaan masyarakat dunia juga sudah bisa pulih/percaya atas jaminan kesehatan negara yngg dituju utk wisatawan. Sudah barang tentu semua proses ini akan memerlukan waktu yang panjang minimal dalam 3-5 tahun ke depan, sampai dunia pariwisata bisa pulih kembali seperti sedia kala.

Baca juga:  Geliat Petani Bunga Marigold Bali di Tengah Pandemi COVID-19

Saya jadi teringat akan pesan holistik alm. Ida Pedanda Made Gunung (2016 di Gedong Gandhi Ashram) yang mengingatkan bahwa beliau sangat khawatir sekali dengan struktur ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Bali yang sangat rapuh dan terlanjur nyaman (comfort zone) yang sangat tergantung dengan industri pariwisata semata. Beliau tidak bisa membayangkan jika suatu saat tiba-tiba wisman/wisdom tidak tertarik lagi untuk berwisata ke Bali oleh beberapa alasan, maka Bali akan lumpuh total, seperti saat gunung Agung meletus tahun 1963, masyarakat Bali saat itu kehidupannya menjadi sangat sulit, terutama untuk bisa makan nasi dan hingga di desa-desa harus rela makan nasi ketela (cacah) untuk bisa bertahan hidup karena kemiskinan yang melanda kehidupannya. Ternyata apa yang dikhawatirkan alm. Pedanda Made Gunung tersebut saat ini benar-benar menjadi kenyataan.

Masyarakat Bali pascabencana Gunung Agung (1967-1975-an) tanpa mengandalkan pariwisata, ternyata mampu bertahan hidup saat itu karena ditopang oleh kecukupan pangan dari pertanian, agribisnis, kesenian, budaya dan kehidupan laut sampai inisiatif cerdas/ tekad kuat untuk bertransmigrasi ke luar Bali dan Astungkara Bali bisa hidup mandiri dan tumbuh sampai terkenal di seantero dunia karena suksesnya industri pertanian, kesenian dan budaya Bali dengan branding sistem pertanian subak dan seni tari, seni ukir, seni lukis dan budayanya yang adiluhung yang kesohor ke mancanegara.

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dimana saat ini persaingan usaha dan ancaman ekonomi dunia yang tidak mengenal batas (global) serta desrupsi di segala bidang yang instan tanpa mengenal jarak dan waktu yang setiap saat bisa berubah drastis di era teknologi media sosial yang serba cepat dan penuh ketidakpastian ini. Salah satu kunci utama yang sangat vital yang wajib diwaspadai dan dipersiapkan dalam menyikapi semua permasalahan yang mengemuka saat ini adalah komitmen, kompetensi, konsistensi dan kompetisi Sumber Daya Manusia (SDM) terkait dengan pola pikir (mindset), pola sikap dan pola kerja, inisiatif produktif, kreatifitas positif, daya juang tinggi untuk bisa memenangkan kompetisi usaha diluar pariwisata secara nyata (out of the box).

Ada beberapa pilihan alternatif untuk bisa menyiasati dan mengatasi ketergantungan usaha dan ekonomi Bali (di luar pariwisata) untuk mewujudkan kebangkitan Bali antara lain:

Baca juga:  Menata Besakih, Menjaga Budaya Bali

a. Bidang Usaha Pertanian

Saat ini kebutuhan pokok Bali (tercatat 70-80%) kebutuhan pokok Bali berasal dari luar Bali sehingga harga pasar kebutuhan pokok Bali dikendalikan oleh pasar dari luar Bali. Peluang pangsa pasar sebesar 70-80% dari luar Bali ini adalah potensi besar untuk tahap awal yang bisa digarap oleh semeton krama Bali (SDM yang mindset-nya sudah berubah) melalui wadah MDA sebagai sokoguru keteladanan dan panutan krama Bali.

b. Bidang Usaha Perikanan

Mengingat Bali yang dikelilingi lautan, maka salah satu inisiatif utama yang dapat ditempuh adalah ekspor ikan hias yang sangat potensial untuk ekspor ke manca negara terutama eropa, tanpa harus merusak terumbu karang dan lingkungan alamnya. Salah satu contoh nyata yang telah dirintis oleh pengekspor ikan hias pengusaha lokal Bali dari PT Dinar Daroem Lestari yang berlokasi tersebar di Gerokgak, pantai utara Bali dan pantai Timur Karangasem hingga cabangnya yang ada di Jakarta, yang telah mampu mengekspor ikan hias dan terumbu karang buatan ke eropa rata-rata sebanyak 8 ton/bulan dengan nilai ekspor mencapai USD200-300 ribu.

Potensi pasar ikan untuk konsumsi dan ikan hias dunia 80% dipegang oleh Indonesia yang baru tertangani dibawah 10%, sehingga potensi konsumsi dalam negeri dan ekspornya cukup menggiurkan jika bisa digarap oleh semeton krama Bali (apalagi Bali dikelilingi oleh lautan). Lagi-lagi bidang usaha kelautan ini bisa dirintis dengan prakarsa, motivasi , inisiatif produktif dan ketokohan serta keteladanan dari MDA yang sedang naik daun sebagai inspirator Bali bangkit.

c. Transmigrasi Gaya Baru

Dengan menerjunkan kelompok SDM generasi muda unggulan (lulusan baru SMK dan S-1) yang memiliki tekad kuat, kompeten, skill dan jiwa petarung tinggi untuk menjadi petani teladan di area/lahan tidur/ terbengkalai milik pemerintah daerah di Bali/luar Bali (semacam transmigrasi gaya baru) dengan imbalan/kompensasi menarik misalnya dengan dukungan dana awal dan atau opsi memiliki tanah garapannya jika berhasil mencapai target. Contoh yang dilakukan oleh pemerintah Thailand dan Bangladesh.

Semoga sinar terang datang dari segala penjuru sehingga Bali Bangkit bisa menjadi kenyataan tanpa tergantung lagi kepada Pariwisata semata. Svaha

Penulis, Pemerhati dan Pelaku Usaha Kecil

BAGIKAN

4 KOMENTAR

  1. Bukan ketergantungan, tapi pariwisata memang point penting yg harus kita ingat bahwa pariwisata yg dapat membangkitkan dan melestarikan budaya yg ada di suatu daerah. Tanpa pariwisata, memang generasi muda mau untuk tetap giat mempelajari seni tanpa ada yg mengapresiasi. Ndak kan ? Ya masak masyarakat nntn sesama masyarakat. Kita juga perlu stakeholder yg bisa memperkenalkan budaya kita hingga tingkat international. Kita perlu pariwisata.

  2. Air murni mineral dalam gelas, dia berubah karena setetes tinta Hitam.
    Perubahan?? Ya akan selalu ada!!
    Sebaliknya bila sudah menjadi muatan hidup masyarakat??
    Faktor & pertimbangan??
    How to implement??

  3. jawaban dari pertanyaan pada judul artikel diatas adalah, Bali tentu siap.. Bali bukanlah era baru bila tanpa pariwisata… bisa dikaji bagaimana sebenarnya Bali sebelum pariwisata dengan saat awal mula perkembangan pariwisata bali…
    bila ingin cepat survive, maka hentikanlah rengek rengek unt membuka pariwisata, segera lakukan langkah lokir benteng dengan raja… seiring waktu pariwisata akan kembali menggeliat dengan sendirinya mengikuti irama.

  4. dalam kehidupan saat ini masyarakat bali pada umumnya benar-benar sangat merasakan terpukul dengan adanya pandemi covid 19 ini tidak ada yang tahu kapan akan berakhir maka dari itu sektor pertanian harus dinomor satukan kembali baru sektor pariwisata bagaimana caranya tentu lahan yang masih ada ( lahan terbuka ) kita garap dengan ditanami berbagai tumbuh-tumbuhan sesuai dengan karakter tanah yang bersangkutan melalui teknologi pertanian atau jika lahan tidak punya bisa dengan media hydrophonik . yang terpenting untuk saat ini bagaimana mengajak masyarakat bali yang berusia antara 20 tahun sampai 50 tahun ini merupakan usia produktif mau bercocok tanam dengan catatan perlu dikasi rangsangan paling tidak bibit gratis oleh pemerintah sehingga mindset atau pola pikir generasi muda bali harus memandang bahwa menanam tumbuh-tumbuhan adalah merupakan keharusan bagi setiap insan sehingga kesejukan dan kedamaian akan muncul dengan sendirinya semoga

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *