DENPASAR, BALIPOST.com – Memasuki Juni, sebagian besar wilayah Bali sudah memasuki awal kemarau. Namun, nyatanya sejak dasarian kedua Juni, hujan masih sering terjadi di wilayah Bali.
Bahkan beberapa kali terjadi cuaca ekstrem yang menimbulkan dampak, seperti banjir dan tanah longsor di wilayah Bali. Kepala BBMKG Wilayah III Denpasar, Agus Wahyu Raharjo, menjelaskan konsep bahwa musim kemarau tidak ada hujan sebenarnya kurang tepat. Sebab, atmosfer bersifat sangat dinamis, sehingga variabilitas cuaca seperti terjadinya hujan dalam periode musim kemarau adalah hal yang dapat terjadi.
Anomali hangat suhu muka laut di sekitar Perairan Bali berkontribusi dalam meningkatkan penguapan. “Kondisi ini berpotensi meningkatkan jumlah kandungan uap air di atmosfer, sehingga peluang pembentukan awan hujan juga meningkat. Inilah yang menyebabkan hujan melanda sejumlah wilayah Bali di musim kemarau ini,” ungkap Agus Wahyu Raharjo dalam siaran persnya.
Faktor lainnya, yaitu angin monsun Australia yang cenderung melemah, sehingga potensi untuk pertumbuhan awan-awan hujan meningkat, khususnya di wilayah Bali. Kelemahan udara yang tinggi hingga lapisan atas, sehingga meningkatkan potensi pertumbuhan awak konvektif, seperti Cumulus dan Cumulonimbus yang dapat menghasilkan hujan.
Dorongan massa udara kering dari Belahan Bumi Selatan seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, mampu memgangkat massa udara di depan batas intrusi menjadi lebih hangat dan lembab termasuk di wilayah Bali. Selain itu, faktor daerah konvergensi yang memanjang dari Selat Bali hingga Jawa Tengah yang meningkatkan pertumbuhan awan hujan di sepanjang daerah konvergensi juga mempengaruhi hujan yang terjadi di Bali.
Dengan tingginya intensitas hujan dalam beberapa waktu terakhir, BMKG menghimbau masyarakat agar tetap waspada dan berhati-hati terhadap dampak bencana yang dapat ditimbulkan. Seperti, banjir, genangan air, tanah longsor, angin kencang, pohon tumbang dan kilat/petir.
Selain itu, bagi pengguna dan operator jasa transportasi laut, nelayan, wisata bahari, dan masyarakat yang beraktivitas di sekitar wilayah pesisir agar mewaspadai potensi gelombang laut dengan ketinggian mencapai 2.0 meter atau lebih. Kondisi ini bisa terjadi di Selat Bali bagian selatan, Selat Badung, Selat Lombok bagian selatan, dan Samudera Hindia selatan Bali. (Winatha/balipost)