Oleh Kadek Suartaya
Dalang adalah seorang seniman dalam teater wayang. Segenap aspek penyajian wayang, hampir seluruhnya dikendalikan oleh dalang. Dalang bertindak selaku sutradara hingga menjadi pelaku tunggal yang membawakan semua karakter boneka-boneka yang dimainkan.
Secara sosio-tradisional, dalang memiliki posisi terhormat di tengah masyarakat. Di kalangan masyarakat modern pun, figur seorang dalang masih lazim menjadi panutan yang disegani.
Akan tetapi, dalam sengkarut kehidupan sekarang ini, dalang tidak hanya bercitra seniman mumpuni, namun dicederai oleh rona negatif. Konotasi buruk pada sebutan dalang, centang perenang dalam dunia hitam, dari misteri pembunuhan hingga gerakan terorisme. Dalang dikiaskan dalam arti “aktor intelektual” yang ada dibalik suatu kejahatan.
Sebutan dalang kini menjadi ambigu, terkontaminasi oleh prilaku busuk para jahanam yang bersembunyi di balik layar. Namun jika menoleh pada perjalanan peradaban kita, dalang dalam konteks kesejatiannya menorehkan jejak-jejak yang mulia.
Simaklah tuturan mitologi Hindu, ketika Dewa Wisnu turun ke bumi menjadi dalang untuk menyelamatkan Rare Kumara dari kebengisan Bhatara Kala. Filosofi mitologi ini diwarisi masyarakat kita, khususnya di Jawa dan Bali, dalam ritual ruwatan Wayang Sapuh Legar, pagelaran wayang kulit yang dimaknai sebagai pembersihan segala leged (noda) yang mengganggu diri seseorang.
Di Bali, ritual wayang wingit ini biasanya digelar pada hari Tumpek Wayang, yang, pada akhir pementasan ditandai dengan percikan air suci oleh Mangku Dalang.
Bila di Bali dalang dalam perannya sebagai figur spiritual dihormati dengan sebutan Mangku, sedangkan di tengah masyarakat Jawa diberi gelar Ki yang berarti orang yang bijaksana serta berpengetahuan luas. Betapa diperhitungkannya peran dalang di tengah masyarakat Jawa, dapat ditelusuri para zaman kerajaan di masa lampau.
Pada masa pemerintahan Raja Airlangga di Jawa Timur, 1019-1042 Masehi, dituturkan tentang bagaimana piawainya permainan wayang seorang dalang yang sampai membuat para penonton menangis pilu. Pada era kejayaan kerajaan tersebut, Ki Dalang adalah warga kesayangan dan kebanggaan kaum bangsawan.
Kekuasaan dan jagat seni memiliki kaitan yang erat, sejak dulu sampai sekarang. Tetapi relasi penguasa dengan seniman tidak selalu harmonis. Ada saatnya penguasa kalah tenar dengan seniman yang diayominya seperti kisah Dalang Buricek.
Konon, pada abad ke-16, di Kerajaan Gelgel (Klungkung) ada seorang dalang sangat digandrungi penonton karena kepintarannya membuat lelucon hingga membuat raja sirik. Jebakan pun dibuat untuk mencelakai sang dalang dengan ancaman kepalanya dipenggal bila tidak berhasil membuat raja tertawa.
Namun melalui trik dengan merobek layar wayangnya sembari menjulurkan kepalanya bertingkah cengar-cengir, tawa raja meledak tak tertahan.
Kemudian, pada zaman republik, Bung Karno dikenal sebagai pemimpin bangsa pengayom pegiat seni. Proklamotor kemerdekaan itu tak segan-segan menjadikan dalang sebagai referensi untuk memperkaya wawasan kebangsaannya. Tercatat, I Nyoman Granyam, dalang tersohor Desa Sukawati, pada tahun 1963, pernah diminta oleh Putra Sang Fajar itu mementaskan lakon Sutasoma yang menuturkan tentang Bhineka Tunggal Ika.
Bahkan seusai pementasan–berlangsung di Puri Ubud–presiden yang mengagumi tokoh Gatotkaca, berdiskusi akrab dengan Granyam membahas sekitar topik Bhineka Tunggal Ika—semboyan bangsa Indonesia yang bermakna perbedaan dalam sebuah kesatuan.
Kedekatan seorang pemimpin bangsa Indonesia dengan seniman dalang berbalik senjang pada kepemimpinan Presiden Soeharto. Seorang dalang terkenal asal Jawa Tengah, Ki Tristuti Rahmadi, kena getah peristiwa G30S yang mengubur habis kesenimanannya dalam jagat wayang.
Dalang yang disayangi Bung Karno ini dituding sebagai anggota Lekra, lembaga kebudayaan underbow PKI. Abibatnya ia dipenjara dan dibuang sebagai tahanan politik selama 14 tahun.
Nasib serupa juga menimpa sejumlah seniman Bali, termasuk dalang. Walau tak sampai masuk bui, namun sempat dianggap “tidak bersih lingkungan” pada zaman Orde Baru.
Zaman berubah, kini para dalang bebas beraktivitas dan berkreasi. Walaupun posisinya tidak seideal seperti dalam masyarakat agraris tradisional dulu, tetapi di tengah dinamika globalisasi sekarang, dalang dengan kesenian wayangnya adalah aset budaya bangsa yang telah diakui Unesco-PBB sebagai warisan budaya dunia.
Memang, pesatnya kemajuan teknologi yang disertai gelombang transformasi budaya kurang berkontribusi pada hasrat menjadi dalang. Syukur, para dalang senior masih sempat mentransmisikan ilmunya pada sejumlah generasi muda.
Beruntung juga pemerintah mendirikan sekolah dan perguruan tinggi yang didalamnya mengelola jurusan pedalangan. Dan, keberadaan Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) ikut pula melegitimasi seniman dalang dengan teater pewayangannya.
Wayang dengan aktor dalangnya, oleh para peneliti Barat, dikagumi sebagai teater total terindah di dunia. Sebagai warisan luhur bangsa, dalang di balik wayang dengan multi kemampuan seninya mengkomunikasikan nilai-nilai estetika hingga subtansi etika-moral saripati kehidupan. Sebab, wayang selain sebagai tontonan juga sekaligus tuntunan. Lewat lakon, pesan moral, dan keteladan tokoh-tokoh wayang, masyarakat penonton tercerahkan dan teredukasi.
Masyarakat diarahkan sepakat untuk tak sepakat, misalnya, pada kelicikan Sakuni, kedengkian Durna, keserakahan Duryadana atau mungkin kesombongan Rahwana. Seandainya afmofer kecintaan akan wayang seperti pada masa jayanya, Ki atau Mangku Dalang bisa menjadi agen pencegah adanya manusia-manusia bergajul penebar onar yang menjadi dalang kerusuhan, dalang pembunuhan, dalang korupsi berjamaah, dalang penebar kebencian dan dalang ulah radikal ekstrem terorisme.
Penulis Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar.