Setyawan Santoso. (BP/Istimewa)

Oleh M. Setyawan Santoso

Apakah ketidakhadiran wisman pada saat ini masih harus disertai dengan kebijakan pembatasan kedatangan wisatawan nusantara? Apakah kondisi perekonomian Bali yang sudah terkontraksi mendalam tidak diatasi dengan kebijakan pelonggaran mobilitas manusia?

Hasil studi Bernard H. Casey 2020 menunjukkan pelonggaran perhatian kepada aspek kesehatan hanya akan membawa pertumbuhan ekonomi jangka pendek karena dampak selanjutnya adalah meningkatkan biaya yang akhirnya secara keseluruhan tahun justru akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Jika ini benar, berarti PPKM memiliki tujuan mulia yaitu mencegah perekonomian Bali terkontraksi lebih dalam.

Saya akan membahas permasalahan ini dengan menjabarkan latarbelakang pemberlakuan pembatasan mobilitas masyarakat Indonesia sejak April 2020 hingga perkembangan saat ini. Perkembangan dunia pariwisata di Bali sudah lama tertekan. Betapa tidak, sejak ditutupnya penerbangan internasional pada Maret 2020, tidak ada wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali.

Padahal, jumlah wisatawan mancanegara sekitar 6 juta orang per tahun, meskipun lebih sedikit dibandingkan wisatawan nusantara yang jumlahnya 10 juta per tahun, namun pengeluarannya sebesar Rp 2 juta per hari atau sekitar 4 kali pengeluaran wisatawan nusantara. Sementara itu waktu tinggalnya (length of stay) rata-rata 10 hari atau sekitar dua kali lebih lama dibandingkan waktu tinggal wisatawan nusantara.

Baca juga:  Setiap Pekan, Pemerintah Evaluasi Penerapan PPKM Berlevel

Pemerintah Provinsi Bali selama ini sangat menaruh perhatian pada penanganan Covid-19. Perhatian ini tampak dengan pemberlakuan kewajiban 3M, 6M dan pembatasan kegiatan masyarakat (PKM), bahkan sebelum pemerintah memberlakukan kewajiban PSBB kepada Bali. Saat ini Bali kembali mendukung diberlakukannya perpanjangan PPKM Mikro yang dicanangkan secara nasional. Program work from Bali yang membawa konsekuensi kedatangan ribuan orang bekerja di Bali dihadapi pemerintah daerah dengan ekstra hati-hati mengingat kasus harian Covid saat ini sedang melonjak.

Jawabannya adalah kebijakan pembatasan mobilitas manusia baik itu berupa penerapan prokes, PSBB maupun PPKM, semuanya ditujukan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Kebijakan untuk tujuan kesehatan selaras dengan tujuan ekonomi, tidak bertentangan. Studi yang dilakukan Bernard H. Casey, konsultan untuk OECD, pada November 2020 menunjukkan tidak terbukti adanya pertentangan (trade-off) antara ekonomi dengan kesehatan. Artinya, kebijakan untuk menjaga kesehatan masyarakat tidak terbukti mengorbankan perekonomian. Hasil studinya menyimpulkan negara yang memperhatikan kesehatan terlebih dahulu akan memperolah kedua-duanya.

Sementara itu negara yang mengorbankan kesehatan akan menghadapi tingkat kematian yang tinggi dan justru mengorbankan ekonomi. Selain itu, studi yang dilakukan Katleen Manipis (Maret, 2021) terhadap seribu orang Australia menunjukkan semua orang sependapat dilakukannya pembatasan mobilitas, demi mencegah penyebaran Covid-19. Meskipun demikian, sebagian besar (57%) menginginkan pembatasan secara ringan, sedangkan 43% menginginkan pembatasan secara ketat.

Baca juga:  Logika Pemilih dalam Kompleksitas Pemilu Serentak

Jika berkaca pada kondisi perekonomian kita, pemberlakuan pembatasan sosial yang cukup ketat tahun 2020 telah menghasilkan penurunan kasus harian Covid-19 yang mencapai titik terendah pada November 2020 sekitar 2.000 orang. Kinerja yang baik ini sedikit menurun dengan adanya pelonggaran pembatasan mobilitas PSBB tepatnya pada awal tahun 2021 hingga kasus harian kembali melonjak hingga mencapai 14.000 di bulan Januari 2021.

Pada saat pertumbuhan ekonomi nasional kuartal I 2021 masih terkontraksi, pertumbuhan ekonomi provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur hanya terkontraksi tipis di bawah 1%. Sementara itu Riau dan DI Yogyakarta bahkan sudah mengalami pertumbuhan positif masing-masing 0,4% dan 6,1%. Sayang sekali pertumbuhan ekonomi ini disertai dengan kenaikan kasus harian Covid cukup tinggi. Di Jawa Barat kasus harian naik dari 300 an bulan April 2021 menjadi 3.432 pada tanggal 22 Juni 2021.

Di Jawa Tengah kasus harian naik dari 200 an pada Maret 2021 menjadi 2.439 pada tanggal 22 Juni 2021. Di Jawa Timur, kasus harian melonjak dari 150 an pada bulan Februari 2021 menjadi 746 orang pada bulan 22 Juni 2021. Sementara itu di Yogya kasus harian melonjak dari 100-an pada bulan Februari 2021 menjadi 675 orang pada tanggal 22 Juni 2021.

Baca juga:  Langgar Jam Malam, Suwirta Langsung Tutup Angkringan dan Suruh Pelanggan Bubar

Di Riau, kasus harian yang sempat berada dibawah angka 100 orang bulan Februari 2021, melonjak menjadi 615 orang pada bulan tanggal 2 Juni 2021. Menghadapi lonjakan kasus covid 19 ini, pemerintah harus memberi perhatian yang lebih besar untuk perawatan, pengobatan dan pencegahan lebih lanjut sehingga akan menguras biaya dan tenaga yang seharusnya dapat dialokasikan untuk ekonomi.

Diperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan selanjutnya akan kembali tertekan. Mengacu kepada studi Bernard H. Casey (2020), maka pengorbanan kepada aspek kesehatan akan membawa peningkatan kasus Covid-19 yang kemudian justru berdampak pada tekanan terhadap yang lebih mendalam terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, pelonggaran perhatian kepada aspek kesehatan hanya akan membawa pertumbuhan ekonomi sesaat karena dampak selanjutnya adalah meningkatkan biaya yang akhirnya secara keseluruhan tahun justru akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Hasil studi Bernard dan dari kenaikan kasus harian akhir-akhir ini membawa pelajaran berharga pembatasan sosial baik berupa PSBB, PPKM, atau pemberlakuan prokes secara ketat, tidak akan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Penulis Pemerhati Ekonomi, Bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *