Oleh Dr. I Nyoman Prabu Buana Rumiartha, S.H., M.H.
Wacana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam hal ini pengenaan PPN untuk bahan pokok atau sembako menuai kritik dari masyarakat. Bahwa PPN merupakan pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang tentunya akan berimbas pada kenaikan harga di konsumen akhir.
Rencana pengenaan PPN untuk bahan pokok atau sembako pada dasarnya sebagai sumber pendapatan pemerintah. Pajak merupakan pungutan wajib dari rakyat untuk negara, dalam hal ini setiap uang pajak yang disetorkan atau dibayarkan oleh rakyat maka akan masuk dalam kas pendapatan negara dari sektor perpajakan.
Barang pokok yang tidak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Barang pokok yang dimaksud, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula.
Peraturan Menteri tersebut sejalan dengan 11 jenis barang yang tercantum pada Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam hal ini kesebelas jenis barang tersebut. Namun rencana pengenaan PPN untuk bahan pokok atau sembako mewajibkan pemerintah untuk terlebih dahulu merevisi ketentuan peraturan tersebut di atas, agar tidak terjadinya konflik norma antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya terkait pengenaan PPN untuk bahan pokok atau sembako.
Rencana pengenaan PPN terhadap bahan pokok adalah yang pertama kalinya dilakukan pemerintah. Pada Pasal 4A ayat 2 huruf b Undang-Undang No. 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah telah menetapkan 11 bahan pokok yang tidak dikenakan PPN.
Jika pemerintah saat ini justru menyiapkan aturan lain untuk mengenakan PPN, hal ini dikhawatirkan bertentangan dengan undang-undang tersebut. Bahwa kebijakan pengenaan PPN terhadap barang bahan pokok atau sembako akan kian menggerus daya beli dan konsumsi rumah tangga yang sejak tahun lalu lesu akibat pandemi Covid-19.
Jika barang kebutuhan pokok atau sembako dikenakan PPN, maka otomatis harga jualnya akan naik. Sebab, pengusaha biasanya membebankan biaya PPN kepada konsumen, maka tidak akan terhindarkan suatu peristiwa perekonomian dalam hal ini kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok maka otomatis akan mendorong terjadinya inflasi.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan kebutuhan pokok yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) tidak terbatas pada 11 jenis barang yang tercantum pada Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Terkait kesejahteraan merujuk pada teori Negara Kesejahteraan (Welfare State), teori yang menegaskan negara yang pemerintahannya menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat. Welfare state merupakan suatu konsep pemerintahan yang berperan penting dalam hal melindungi dan juga memperjuangkan kesejahteraan sosial dan ekonomi setiap masyarakat yang ada di dalamnya.
Bahwa untuk dapat mencapai kesejahteraan negara, maka pencapaian Kesejahteraan Sosial (Social Welfare) harus meminimalisir kesenjangan sosial, baik melalui pendekatan standart kehidupan, peningkatan jaminan sosial serta akses terhadap kehidupan yang layak. Maka jika dikaitkan dengan rencana kebijakan pengenaan PPN barang bahan pokok sembako maka Kesejahteraan Negara (Welfare State) dalam tercapainya Kesejahteraan Sosial (Social Welfare) akan sulit terwujud terutama di masa pandemi Covid-19 saat ini.
Uang pajak yang dibayarkan oleh rakyat tentunya untuk membiayai belanja pemerintah pusat maupun daerah demi kesejahteraan masyarakat, namun perlu dipahami secara filosofis “roh atau hal yang paling mendasar” dari aturan yang mewajibkan pengenaan PPN terhadap bahan pokok atau sembako apakah dapat tercapainya suatu kesejahteraan masyarakat yang hakiki.
Bahwa benar uang pajak dalam hal ini dipergunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi. Pajak merupakan salah satu sumber dana pemerintah untuk mendanai pembangunan di pusat dan daerah, seperti membangun fasilitas umum, membiayai anggaran kesehatan dan pendidikan, dan kegiatan produktif lainnya. Pemungutan pajak dapat dipaksakan karena dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, namun perlu dimaknai hakikat dari lahirnya suatu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pajak wajib hukumnya bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, tidak untuk membuat rakyat terdesak karena pajak.
Penulis, Dekan Fakultas Hukum & Humaniora, Universitas Bali Dwipa
Terima kasih pak Prabu, tulisannya sangat bagus dan mudah dipahami
Sangat membantu saya dalam menyusun paper, terima kasih Pak Dekan