Oleh IGK Manila
Ledakan kasus Covid-19 dalam beberapa pekan ini bisa jadi menjadi pukulan berikutnya bagi banyak pihak. Demikian pula dengan penyebaran varian baru yang konon lebih ganas dan berpotensi lebih sulit ditangani.
Dunia, Indonesia dan dalam konteks ini Bali, seperti akan terus berlarut-larut dalam ketidakpastian. Sebagaimana di belahan Indonesia lainnya, selain soal-soal kesehatan dan korban pandemi, isu yang amat menggelisahkan di Bali adalah perekonomian.
Khusus Bali, karena ketergantungan yang tinggi pada pariwisata, ketakutan lebih kuat dan mendalam lagi. Alasannya tentu saja karena pariwisata konvensional adalah sektor riil yang amat bergantung pada kehadiran fisik dan interaksi sosial.
Dalam pandangan saya, pertama-tama, ledakan kasus varian baru dan ragam ketidakpastian tersebut harus diposisikan secara tepat. Sebab positioning persoalan merupakan salah satu langkah dalam strategi penyelesaian persoalan.
Tanpa positioning, perspektif akan monoton, memiskinkan alternatif dan mengantar kita pada sikap meratap dan doa-doa tak terjawab. Positioning yang saya maksud bermula dari sikap menerima fakta berpikir, bersikap dan bertindak atas dasar fakta tersebut.
Ledakan kasus, varian baru dan karut-marut ekonomi adalah fakta yang tak bisa dibantah dan ditolak. Semua pihak—mereka yang duduk di pemerintahan, rakyat awam dan masyarakat sipil—harus tahu atau dibuat tahu dan menerimanya serta sampai pada pilihan sikap dan tindakan yang tepat.
Dengan kata lain, semua orang dan kelompok sosial harus sadar bahwa mereka berada pada situasi the point of no return, tidak mungkin kembali seperti semula. Gelombang yang amat besar telah menghantam pantai kehidupan sedemikian rupa, sehingga mengubah rupa dan bentuk yang selama ini dikenal.
Pilihan yang tersedia karena hukum alam ini hanyalah bahwa perubahan itu harus diterima dan cara-cara berkehidupan harus disesuaikan. Mungkinkah itu dilakukan? Jika berpatokan pada fakta-fakta sejarah, masyarakat Bali bukanlah satu entitas sosial yang baru satu atau dua kali dipaksa menyesuaikan diri karena faktor alam dan sosial-politik. Justru kekuatan spiritual, sosial dan ekonomi masyarakat Bali bisa dilihat dari waktu ke waktu bersumber dari kemampuan untuk beradaptasi dengan fenomena alam!
Selanjutnya, setelah berhasil melakukan positioning realitas atau mendudukkan fakta secara proporsional, diperlukan optimisme. Di sini ada baiknya kita kembali pada salah satu konsep terkenal tentang arti ‘krisis’.
Dalam bahasa Tionghoa, kata ‘krisis’ konon diungkapkan terdiri dua karakter, yang berarti ‘bahaya’ dan ‘kesempatan’. Sehingga terkenal semacam interpretasi mengenai ini bahwa kita harus berhati-hati dengan krisis, namun jangan lupa di balik krisis juga terdapat kesempatan.
Salah satu hambatan yang tak kunjung terselesaikan dalam hal ini adalah perubahan mindset atau perspektif, baik pada masyarakat maupun mereka yang menjalankan pemerintahan. Terdapat semacam keterlenaan atau situasi tertawan oleh masa lampau yang amat kuat, yang sudah mengalami reifikasi atau pengerasan.
Sehingga terjadi kegagalan dalam memahami ruh spiritual-kultural Bali yang berpijak pada adaptabilitas manusia dengan perubahan alam. Hambatan kedua tentu saja faktor struktural. Sebagai hal yang indigenous, kebudayaan Bali dengan segala isi dan susunanannya berdasar pada pembacaan dan reaksi terhadap fenomena alam.
Namun ketika terjadi strukturasi dalam konteks ketatanegaraan dalam waktu yang panjang, aspek indigenuity cenderung kalah atau dikalahkan. Sebab dan buah dari strukturasi ini adalah biroktratisme dan birokratisasi.
Para pejabat dan pegawai pemerintahan, misalnya, ketika strukturasi telah menjadi demikian kuat, akan cenderung berpikir, bersikap dan bertindak birokratis. Aspek-aspek kultural—yang sebelumnya kuat atau dominan secara struktural—tersisih dan mengalami involusi menjadi sekadar rupa-rupa simbolik. Pejabat, pegawai, meskipun asli Bali, meskipun mengenakan pakaian atau simbol-simbol kultural lainnya, tak mampu lagi berlaku sebagai orang Bali yang adaptif dengan fenomena alam.
Hal ketiga yang umum terjadi adalah apa yang disebut sebagai conceptual lags. Secara bahasa ini berarti ‘ketertinggalan konseptual’. Dalam hal ini umum terjadi bahwa fenomena terjadi lebih dahulu dan baru disusul dengan pemahaman, sikap dan reaksi manusia. Namun di negara-negara atau wilayah yang relatif heterogen dan memiliki masalah governability, fluktuasi kasus, pemulihan ekononomi dan kesehatan menjadi lebih sulit.
Conceptual lags tentu saja pertama-terkait dengan efektifitas pemerintahan. Jika pemerintahan Provinsi Bali efektif, keterlambatan langkah-langkah penanggulangan dan pemulihan ekonomi tak akan berlarut-larut.
Akan tetapi, jika birokrasi pemerintahan telah menjadi gurita yang terus membesar dan justru menyedot sumber daya yang semestinya dialirkan kepada rakyat, maka itu soal menunggu waktu. Bali akan berpotensi mengalami lagging behind—perlahan-lahan tertinggal karena melemahnya sumber daya, terutama secara ekonomi.
Penulis Gubernur ABN dan Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem