I Wayan Artika. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M. Hum.

Etnopedagogi adalah teori pendidikan etnik berupa praktik-praktik pengasuhan yang holistik terintegrasi dengan kehidupan masyarakat dan berlangsung sepanjang hayat. Melakukan tindakan-tindakan moral, teknik, ekonomi, seni, ekologi, merupakan basis-basis kurikulum etnopedagogi.

Desa dengan berbagai konteks ekonomi (laut, tanah pertanian, industri kuno) adalah “sekolah kehidupan” tempat etnopedagogi dijalankan bersama-sama oleh anggota masyarakatnya. Pendidikan modern yang formal, ideologis, kapitalis, dan terpisah dari kehidupan ternyata telah menggusur etnopedagogi dari tengah-tengah masyarakatnya sendiri.

Kelak di tengah kejenuhan pedagogi modern, dengan dukungan studi antropologi, etnopedagogi kembali hadir di ruang-ruang kelas sekolah modern. Namun demikian, pedagogi modern dengan berbagai infrastruktur ideologis, teknologi, jaringan internasional, penyusupan kapitalisme, media, dan adanya dikhotomi antara idealisme keilmuan dan pragmatisme ekonomi, semakin jauh meninggalkan etnopedagogi.

Kesadaran-kesadaran mendasar tentang hubungan atau konstelasi manusia, alam, dan Tuhan yang dikenal dengan tri hita karana juga bernasib sama. Pandangan ini tidak diadopsi oleh pendidikan modern di Bali. Tulisan ini mendiskusikan Tri Hita Karana sebagai etnopedagogi yang sesungguhnya tidak “canggung” diterapkan dalam pendidikan modern. Tri Hita Karana hidup di dalam masyarakat sebagai pedoman pokok bahwa satuan-satuan masyarakat di Bali senantiasa ada dalam keniscayaan relasional tiga simpul: manusia, alam, dam Tuhan.

Baca juga:  Hadiri Hut ST Bhakti Pertiwi ke-41, Wabup Suiasa Ajak Sekaa Teruna Laksanakan THK

Memandang Tri Hita Karana dari perspektif pedagogi, maka manusia sebagai basis atau landasasan pendidikan. Pedagogi tri hita karana berlandaskan humanisme atau hukum-hukum kemanusiaan. Dalam hal ini di antara Tuhan dan alam, seolah Tri Hita Karana dikonstruksi antroposentris atau berpusat pada manusia penguasa.

Namun demikian, pada lapisan berikutnya, manusia dalam simpul Tri Hita Karana bukanlah manusia yang angkuh tetapi yang selalu menghidupkan kesadaran diri karena akan menjalin relasi sebagai sebuah keniscayaan baik dengan dirinya sendiri (manusia) maupun dengan Tuhan dan alam.

Pedagogi Tri Hita Karana dalah kearifan yang ditanamkan pada diri manusia. Maka etnopedagogi Tri Hita Karana adalah spirit pendidikan atau pengasuhan yang melatih manusia untuk selalu menyadari kelemahan di hadapan alam dan Tuhan.

Pendidikan yang didasarkan pada etnopedagogi Tri Hita Karana memupuk sikap rendah hati manusia di hadapan alam dan Tuhan. Siswa yang ditanamatkan terlatih menghormati alam sebagai perwujudan Tuhan. Pendidikan berlandaskan pedagogi Tri Hita Karana menekankan pada relasi yang berpusat pada manusia.

Etnopedagogi Tri Hita Karana melatih dan membangun kebiasaan manusia untuk menjalian hubungan harmonis dengan alam sehingga kekuatan ilmu dan teknik yang dipelajari di sekolah dan universitas tidak menjadi alat pengancur alam dan digunakan untuk membunuh keyakinan-keyakinan religius. Di sekolah siswa dipupuk untuk menghormati alam dan Tuhan. Relasi-relasi manusia dan manusia, manusia dan alam, serta manusia dan Tuhan dijelmakan di sekolah dalam berbagai subjek yang dipelajari. Namun pedagogi modern melihat semua mata pelajaran itu sebagai objek dan menempatkan manusia tidak hanya sebagai subjek atau agen belajar tetapi sebagai penguasa.

Baca juga:  Potensi Likuifaksi Perlu Disikapi dengan Ilmiah dan THK

Dalam perkara keangkuhan manusia yang telah menguasasi teknologi dan ilmu itulah, kini peran etnopedagogi Tri Hita Karana sebagai kritik terhadap semua kesombongan dan keangkuhan manusia. Pendidikan dengan pedagogi modern telah melahirkan manusia pintar atau cerdas namun minus keraifan karena telah terjadi reduksi terhadap alam dan Tuhan.

Di antara ketiga titik itu, manusia ingin menjadi seorang diri. Namun demikian, ketika keberhasilan pendidikan modern dipertanyakan, utamanya dari segi kearifan manusia, etnopedagogi Tri Hita Karana memiliki relevansi yang tinggi. Pada satu sisi, manusia menganggap dirinya sebagai penguasa sebagai mana Tri Hita Karana selalu berangkat dari satu titik segi tiga (manusia) namun pada sisi lain, manusia sejatinya adalah hamba alam dan Tuhan.

Baca juga:  Bali Pulau Kecil dan Terbatas SDM, Perlu Dikelola Baik Agar Berkelanjutan

Etnopedagogi ini melatih dan menumbuhkan siswa atas kesadaran diri sebagai human atau semata-mata mahluk yang hadir di dunia bersama alam (fisik) dan Tuhan (adikodrati atau transenden). Manusia hadir bersama manusia lainnya dan bersma pula Tuhan dan alam. Kebersamaan ini adalah konsep relasional. Maka etnopedagogi tri hita karana adalah memupuk kesadaran ada dalam paradigm relasi yang abadi dan dinamik. Dalam hal ini bukanlah relasi penguasaan atau eksplorasi tetapi relasi mutualistik.

Etnopedagogi Tri Hita Karana memang sebagaimana kekuatan etnopedagogi, yaitu pada moralisme dan nilai-nilainya, menjadikannya sebagai praktik pendidikan modern akan mampu menawar keangkuhan manusia terhadap alam dan Tuhan. Maka mentalitas orang Bali yang sejati adalah selalu mencipta harmoni bahkan terhadap oposisi biner mereka tidak memiliki pretensi untuk memilih yang baik dan mereduksi yang jahat tetapi menjaga terjadinya equilibrium di antara keduanya dan membiarkan pendulum dari dua kutub yang besebrangan atau berlawanan tetap bergerak abadi.

Penulis Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali

BAGIKAN

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *