DENPASAR, BALIPOST.com – Di tengah pandemi, terutama saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat, transaksi keuangan dilakukan lewat aplikasi digital. Sayangnya dalam situasi ini, BPR belum semuanya mengadopsi teknologi keuangan untuk memudahkan nasabah bertransaksi.
Menurut Direktur Utama BPR Kanti I Made Arya Amitaba, Selasa (13/7), belum terdigitalisasinya transaksi keuangan BPR juga karena aturan OJK belum mampu memfasilitasi BPR untuk go digital. Sebab, BPR dengan modal inti kurang dari Rp 50 miliar belum diperbolehkan melakukan digitalisasi keuangan.
Menurutnya, memang transaksi perbankan bisa dilakukan secara online. Namun kondisi sekarang belum memungkinkan BPR menerapkan digitalisasi keuangan karena memang sebagian besar BPR, tidak hanya di Bali, belum bisa menuju ke teknologi digital.
“Karena dari sisi permodalan, dalam peraturan POJK tidak memungkinkan BPR itu masuk ke teknologi digital karena di ketentuan jelas, BPR KU 3 saja yang bisa ke sana (mengadopsi teknologi digital), dengan modal inti di atas Rp 50 miliar,” ujar mantan Ketua Persatuan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Bali ini.
Sementara BPR di Bali hanya 2 BPR yang KU 3. Sehingga belum bisa menerapkan teknologi digital karena masalah permodalan. Ia pun sejak tahun 2017 telah menyampaikan kepada OJK terkait dengan digital teknologi ini.
“Karena by transaction, jadi segala sesuatu, biayanya tergantung dari transaksi. Sama halnya kita mentransfer uang ke bank lain, dikenakan Rp 6.500. Begitupun dengan pemanfaatan teknologi digital saat sekarang ini, tidak wajib dan sangat dimungkinkan vendor-vendor menyediakan layanan by transaksi tanpa sekalipun ada investasi,” jelasnya.
Sehingga, ia menilai jika penggunaan teknologi dikaitkan dengan permodalan tidak sejalan. Ia berharap, dalam kondisi ini seyogyanya regulator bisa memberikan relaksasi dan mempercepat akses digital seluas-luasnya. (Citta Maya/balipost)