DENPASAR, BALIPOST.com – Pelaksanaan relaksasi kebijakan perlu kehati-hatian. Sebab, langkah relaksasi yang tidak tepat dan didukung oleh masyarakat dengan baik, memicu lonjakan kasus. Demikian dikemukakan Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Nasional, Prof. Wiku Adisasmito, dalam keterangan mingguannya yang disiarkan di kanal BNPB Indonesia, Selasa (20/7).
Ia mengatakan selama hampir 1,5 tahun menghadapi pandemi COVID-19, pemerintah pusat sudah 4 kali melakukan tahapan pengetatan. Mekanisme pengetatan dilakukan rata-rata 4 sampai 8 minggu dengan efek melandai bahkan menurunnya kasus.
Namun, relaksasi 13-20 minggu, kenaikan kasus menjadi 14 kali lipat. “Hal ini perlu menjadi refleksi penting pengetatan yang saat ini dilakukan. Pengetatan yang telah berjalan selama 2 minggu ini, sudah terlihat hasilnya, seperti mulai menurunnya BOR di provinsi Pulau Jawa-Bali serta mobilitas penduduk yang menunjukkan penurunan,” katanya.
Namun, penambahan kasus masih menjadi kendala yang dihadapi. Kasus masih mengalami kenaikan 2 kali lipat dengan kasus aktif 542.328 (18,65 persen). “Kenaikan ini tidak terlepas dari fakta bahwa varian of concern atau berbagai varian COVID-19 saat ini telah masuk ke Indonesia. Khususnya, varian Delta yang telah mencapai 661 kasus di Pulau Jawa-Bali,” ungkapnya.
Dengan tingginya kasus saat ini, lanjutnya, pemerintah berusaha maksimal dengan melakukan pengetatan dengan membatasi mobilitas. Meningkatkan kapasitas rumah sakit, meningkatkan fasilitas rumah sakit, dan menyediakan obat-obatan. “Namun upaya-upaya ini tidak akan cukup dan pengetatan tidak bisa dilakukan secara terus menerus karena membutuhkan sumber daya yang sangat besar dan risiko korban jiwa yang terlalu tinggi serta berdampak secara ekonomi,” paparnya.
Ia mengatakan tentunya suatu saat pemerintah akan melakukan relaksasi. Namun, tegasnya, penanganan COVID-19 dapat berhasil dan efektif apabila saat keputusan relaksasi diambil, keputusan tersebut disiapkan dengan matang dan adanya komitmen dalam melaksanakan kebijakan atau kesepakatan dari seluruh unsur. Keduanya ini menjadi kunci terlaksananya relaksasi yang efektif dan aman serta tidak memicu kasus kembali melonjak.
“Cara ini adalah yang paling murah dan mudah dan dapat dilakukan menyesuaikan segala kegiatan masyarakat,” sebutnya.
Sayangnya, kata Prof Wiku, melalui pembelajaran yang ditemui di lapangan selama ini, keputusan relaksasi sering tidak diikuti dengan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan dan pengawasan protokol kesehatan yang ideal. “Selain itu, relaksasi juga disalahartikan sebagai keadaan aman sehingga protokol kesehatan dilupakan dan penularan kembali terjadi di masyarakat dan menyebabkan kasus kembali meningkat,” ujarnya. (Diah Dewi/balipost