Oleh Kurniawan Adi Santoso
Disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada 31 Maret dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomer 87 ini memancing polemik. Bahkan tidak sedikit dari kalangan pendidikan yang dengan terang-terangan menolak dan mengusulkan untuk dibatalkan. Apa gerangan penyebabnya? Di PP No. 57/2021 pasal 40 ayat 2 dan 3 yang menerangkan tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan tinggi, tidak ada diksi Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai muatan wajib kurikulum.
Melainkan Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa yang sebagai muatan wajib kurikulum. Sontak, banyak orang terkejut mengapa ideologi dan dasar negara Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa tidak dicantumkan secara eksplisit di PP itu?
Bukankah Pancasila itu sumber segala sumber hukum dan niali-nilai karakter bangsa? Kalau saja Pancasila tidak diajarkan di sekolah dan Perguruan Tinggi, apa jadinya generasi muda bangsa ini ketika mereka nanti terjun dalam masyarakat dan dunia kerja? Masihkah mereka memiliki pijakan ideologi dan nilai luhur sebagai karakter mereka dalam kehidupan bernegara dan berbangsa? Kurang lebih begitulah suasana kebatinan para penentang PP No. 57/2021 itu.
Suasana kebatinan yang begitu cemas itu akhirnya menggiring proses munculnya resistensi yang diformat dan diviralkan di dunia digital selama beberapa hari ini. Begitu juga Bahasa Indonesia yang tidak disebut sebagai muatan wajib kurikulum ikut menguatkan suasana kebatinan yang negatif dari publik. Bahasa Indonesia adalah alat pemersatu bangsa yang maha dahsyat efektivitasnya. Karena itu tidak boleh hilang dari Standar Nasional Pendidikan. Sehingga, hal itu menjadi katalisator percepatan penolakan terhadap PP tersebut.
Lantas, mengapa nomenklatur Pancasila dan Bahasa Indonesia tidak ditulis secara jelas di PP 57/2021? Ternyata PP 57/2021 mengacu UU Sisdiknas, yaitu UU No. 20/2003. Di dalam Sisdiknas komponen kurikulum Pendidikan Nasional tidak menyebut Pancasila.
Mengapa begitu? Karena suasana kebatinan perumusan UU Sisdiknas menginginkan agar Pancasila tidak dikeramatkan, tidak disakralkan seperti praktik negatif Pancasila pada era Orde Baru. Waktu itu Pancasila lebih banyak digunakan sebagai alat politik untuk menstigmatisasi kelompok yang bersebarangan dengan pemerintah. Alhasil, Pancasila hanya dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Akan tetapi, sekarang suasana kebatinan bangsa bergerak ke arah lain. Pancasila dirasa penting. Pendidikan ideologi Pancasila sangat dibutuhkan dalam mengarahkan tujuan pembangunan bangsa. Pancasila sangat komplit memasukkan berbagai unsur, mulai dari religiusitas, persatuan, kerakyatan, maupun keadilan sosial. Jika ideologi ini tidak ditanamkan secara utuh sejak anak-anak masih belia, maka arah pembangunan akan semakin rusak.
Maka dari itu, dorongan revisi PP SNP itu makin kencang disuarakan masyarakat pendidikan. Kabar terkini, Mendikbud Nadiem Makarim sudah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo memohon revisi PP 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kita berharap suara publik didengar, lantas Pancasila dan Bahasa Indonesia dengan jelas diletakkan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan.
Jadi, Pendidikan Pancasila dan pelajaran Bahasa Indonesia harus dieksplisitkan sebagai mata pelajaran wajib. Apabila Pendidikan Pancasila dan pelajaran Bahasa Indonesia tidak dicantumkan secara eksplisit. Ini bisa menimbulkan salah tafsir. Tafsirnya bisa saja boleh diajarkan, boleh tidak diajarkan. Ini jelas membahayakan bagi keberadaan Pancasila dan Bahasa Indonesia.
Sebuah produk kebijakan pendidikan haruslah berangkat dan berakar dari kebudayaan suatu bangsa, apabila tujuannya ingin mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya. Termasuk PP tentang SNP harus berangkat dari akar budaya bangsa Indonesia yang dilandasi oleh kesepakatan bersama yang salah satunya yaitu Pancasila.
Pancasila adalah landasan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi kesepakatan bersama bangsa ini. Menghilangkan Pancasila sebagai bahan ajar kepada generasi muda berarti membiarkan para generasi muda kita tidak memahami landasan moral dan etik yang menjadi kesepakatan bersama pembentukan bangsa ini.
Pemahaman tentang landasan moral dan etik Pancasila bagi peserta didik penting untuk ukuran dan standar kehidupan mereka kelak dalam berbangsa dan bernegara. Begitupun dengan Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa kesepakatan pendiri bangsa ini sebagai bahasa persatuan.
Tidak mencantumkannya bahasa Indonesia di standar nasional pendidikan seakan-akan ahistoris terhadap perjuangan bangsa ini. Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia tidak bisa dipandang sebagai mata pelajaran/kuliah yang hanya bersifat teknis dan kognitif belaka. Hal itu karena terkait dengan nilai (value) yang diyakini dan mengakar di bangsa Indonesia, yang tidak hanya dipahami oleh peserta didik sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Akan tetapi harus terinternalisasi di dalam kehidupan peserta didik.
Boleh jadi secara individu-individu peserta dapat sukses menjalani pendidikan bahkan sukses di kehidupan tanpa mendapatkan Pendidikan Pancasila, Bahasa Indonesia. Tetapi sebagai generasi suatu bangsa yang akan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tentu akan menimbulkan persoalan dalam interaksi kehidupan bangsa ini kelak.
Ada kemungkinan tidak dimasukkannya Pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajib di kurikulum pendidikan pada PP 57/2021, hanya keteledoran semata. Bukan atas dasar kesengajaan yang tentunya bertentangan dengan undang-undang. Akan tetapi, sangat tidak elok bila semacam PP yang menentukan masa depan pendidikan bangsa ini digarap tanpa melalui berbagai kajian dan telaah mendalam baik dari sisi konten yang substansial maupun redaksional.
Penulis ASN Guru Kabupaten Sidoarjo, Jatim