Oleh Dewa Gde Satrya
Petaka tenggelamnya KM Yunicee di Selat Bali pada Selasa (29/6) malam yang lalu menambah kekhawatiran traveler untuk bepergian. Terutama ke Bali yang digadang-gadang sebagai barometer pariwisata nasional.
Wisatawan yang datang ke Bali saat ini memilih melakukan perjalanan darat (overland) dengan kendaraan pribadi, sebagai alternatif perjalanan yang dinilai minim risiko penularan COVID-19 di masa pandemi, tentu dalam konteks sebelum PPKM Darurat.
Kecelakaan demi kecelakaan moda transportasi publik yang melekat dalam perjalanan wisata seakan tiada berakhir, meski tragedi demi tragedi telah menguras air mata, empati dan evaluasi di berbagai lini. Memulihkan kepercayaan publik, dalam hal ini wisatawan domestik, untuk melakukan perjalanan di dalam negeri tidaklah mudah.
Tak hanya jaminan penerapan CHSE (cleanliness, healthy, safety, environment sustainability) di setiap destinasi wisata, restoran dan akomodasi, sebagaimana selama ini telah diupayakan dengan seksama dan menjadi material promosi yang meyakinkan. Namun implementasi CHSE itu harus benar-benar terbukti di setiap mata rantai perjalanan wisata, yang kali ini tidak terbukti pada moda transportasi laut kita.
Kecelakaan maut juga berulang terjadi pada moda transportasi darat. Sekadar menyebut contoh, bus pariwisata merenggut nyawa 17 penumpangnya terjadi di Cianjur, Jawa Barat, pada Rabu (27/2/2017). Faktor kelalaian sopir, kondisi jalan dan cuaca, serta jumlah penumpang yang melebihi kapasitas menjadi beberapa penyebab kecelakaan maut tersebut.
CHSE, utamanya kebersihan dan jaminan penyediaan layanan transportasi wisata yang sehat serta aman, kini menjadi tuntutan yang wajib dipenuhi untuk memulihkan kepercayaan dan motivasi wisatawan domestik melakukan perjalanan di berbagai destinasi di Tanah Air.
Keganasan hidup di jalanan juga tergambar dalam data yang pernah dikeluarkan Depkes yang menyebutkan, kecelakaan di jalan merupakan masalah kesehatan yang sangat serius di seluruh dunia, termasuk Indonesia (Firman, 2008). Selain CHSE, terminologi dasar bisnis jasa transportasi sebagai bisnis keselamatan adalah pentingnya penerapan prinsip-prinsip hospitality.
Parasuraman (1988) dan Zeithaml et.al (1996) menjelaskan lima dimensi kualitas jasa yang seluruhnya vital bagi pemulihan pariwisata di masa pandemi ini. Pertama, reliability, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan. Kedua, responsiveness, kesiapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberi pelayanan yang cepat dan tanggap yang meliputi kesiapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi dan penanganan pelanggan.
Ketiga, assurance, kemampuan karyawan atas pengetahuan terhadap produk secara tepat, kualitas keramahtamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberi pelayanan, ketrampilan memberikan informasi, dan sebagainya. Keempat, empathy, perhatian secara individu yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan. Kelima, tangibles, penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan front office, tersedia tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi, dan penampilan karyawan.
Kedisiplinan setiap penyedia jasa transportasi, khususnya transportasi wisata, untuk memastikan diterapkannya standar operasional prosedur sebelum transportasi diberangkatkan. Termasuk di dalamnya pemeriksaan kebersihan, kesiapan mesin dan armada, alat pengamanan, kesiapan administrasi, dan kesiapan personalia.
Penerapan prinsip-prinsip hospitality, juga CHSE, dalam moda transportasi wisata, saat ini sangat dibutuhkan untuk meraih kepercayaan wisatawan domestik untuk melakukan perjalanan wisata dan secara nasional mendongkrak reputasi sarana transportasi publik yang dalam konteks kepariwisataan berkontribusi merengkuh kepercayaan konsumen dan meningkatkan nilai jual. Dalam World Economic Forum Report Travel and Tourism Competitiveness Index 2008 misalnya, Indonesia menduduki peringkat 80 dibanding Singapura (peringkat 16), Malaysia (peringkat 32), dan Thailand (peringkat 47).
Perolehan peringkat yang rendah itu salah satunya disebabkan kelemahan Indonesia dalam hal infrastruktur. Untuk sarana transportasi darat, Indonesia menduduki peringkat 98. Sedangkan transportasi udara berada pada peringkat 61. Sebagai pembanding, Malaysia menduduki peringkat 28 untuk sarana transportasi darat.
Melalui penerapan CHSE dan prinsip hospitality diharapkan mampu menekan angka kecelakaan, sabotase, kerawanan di perjalanan dari tindak kriminalitas, dan hal-hal buruk lainnya. Serta, meningkatkan kapasitas dan kualitas berbagai instrumen terkait di dalamnya, mulai pengelolaan secara profesional terminal, pelabuhan, bandar udara, kualitas jalan raya (penerangan, penanda dan pembatas jalan), kualitas dan estetika armada, hingga sumber daya manusia.
Paralel dengan upaya keras yang telah lama dikoordinasikan, dievaluasi dan dipromosikan lintas instansi pemerintahan untuk memulihkan pariwisata Bali dengan aneka program, mulai dari Work from Bali, travel bubble, program We Love Bali bekerjasama dengan influencer, program Super Deal, staycation “Pay Now Stay Letter” dan strategi diferensiasi produk serta pemasaran kreatif lainnya, dibutuhkan kesungguhan di setiap pelaku di mata rantai perjalanan wisata. Keseriusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah Bali untuk membangun trust pada wisatawan akan sia-sia bila ada mata rantai perjalanan wisata yang tidak menunjukkan performa CHSE di bidang masing-masing.
Upaya serius dan detil pemda Bali dapat dilihat melalui diterapkan SOP untuk menerima wisatawan, pengetatan kedatangan wisatawan, penerapan zona hijau dan implementasi CHSE itu sendiri yang ujungnya pada citra destinasi dan mendorong minat kunjungan berulang wisatawan. Kiranya tidak ada lagi petaka pada traveler yang sedang bepergian.
Penulis Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya
CHSE itu hanya salah satu slogan yg sama sekali tidak ada penerapan nya. Masalah transportasi darat, laut dan udara itu adalah tanggung jawab kementrian perhubungan nasional maupun daerah yang tidak profesional.