Oleh I Made Sindhu Yoga
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diperpanjang hingga 25 Juli. Keputusan Presiden Jokowi ini diharapkan berkolerasi terhadap penyebaran virus Covid-19. Ibarat buah simalakama, pemerintah dihadapkan pada dua pilihan rumit nan sulit, kesehatan atau ekonomi. Meskipun pada akhirnya kita semua tahu opsi mana yang dijatuhkan oleh pemerintah, tapi bagi sebagian masyarakat, kesehatan fisik mereka tidak didukung kesehatan secara mental.
Bali, provinsi yang menyangga ekonomi masyarakatnya dari pariwisata kini kelimpungan. Sejumlah kabupaten bahkan mulai melakukan efisiensi besar-besaran. Destinasi-destinasi wisata ibarat kota hantu, dan para pelaku wisata tanpa penghasilan.
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan terbesar yang pernah dialami industri pariwisata dalam sejarahnya. Segala jenis pergerakan pariwisata terhenti, pesawat diparkir, hotel ditutup, lintas negara dibatasi bahkan dilarang. Rapor merah juga kemudian dituliskan setelah Bali menyandang status sebagai provinsi dengan laju pertumbuhan ekonomi negatif tertinggi di Indonesia, yaitu -9,31% pada tahun lalu.
Pendapat kemudian bermunculan, bahwa adalah sebuah kesalahan karena Bali terlalu bertumpu pada sektor pariwisata sebagai penyokong utama aktivitas ekonomi. Sudah waktunya kembali menengok ke sektor pelapis, yaitu pertanian. Apa benar begitu?
Berdasarkan data yang dirilis oleh BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Bali pada Tahun 2020, dicantumkan pada Tahun 2019, ada tiga sektor utama yang menjadi sektor unggulan dalam aktivitas perekonomian Provinsi Bali, yaitu penyediaan akomodasi dan makan minum, atau disingkat dengan sebutan “akmamin” (sektor pariwisata) sebesar 23,26%, diikuti oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 13,53%, dan sektor transportasi dan pergudangan sebesar 9,73%.
Secara logika sederhana, tentunya kita sudah bisa menebak: cara satu-satunya untuk menyehatkan perekonomian adalah dengan menyambung kembali kehidupan pariwisata. Namun permasalahan yang kemudian muncul bagaimana caranya? Pandemi kini telah menginjak tahun kedua.
Semua orang kelelahan. Mungkin ada baiknya untuk berpindah sudut pandang; bahwa perhatian utama bukan lagi tentang statistik angka penyebaran Covid -19, tapi bergeser pada parameter kuantitas angka vaksinasi. Tentang personel aparat serta satgas dan team tracing yang diturunkan bukan lagi untuk sweeping para pelaku UMKM dengan jam operasional lebih dari jam 8 malam yang tak lagi punya sisa cadangan uang di dompet mereka.
Tapi bisa jadi akan lebih elok jika pihak yang berwenang turun ke lapangan dengan aksi mendata dan menindaklanjuti jumlah masyarakat terkait vaksinasi. Mungkin ada baiknya untuk mempertimbangkan opini; bahwa bukan aktivitas yang dibatasi, namun protokol kesehatan yang diperketat kembali.
Semisal sebagai langkah konkret terkait surat edaran atau apapun kebijakan yang disosialisasikan oleh pemerintah bisa diganti dengan memberi peran yang lebih mengarah pada tanggung jawab instansi, kantor, sekolah, kampus, dan segala tempat publik lainnya untuk menguatkan kedisiplinan dalam implementasi prokes.
Jangan-jangan yang dibutuhkan adalah mengkaji dan merevisi batasan-batasan atas pembatasan pemikiran kita terkait ruang lingkup terhadap pembatasan. Meskipun pembatasan bisa jadi bukan cara yang terbaik, namun pada kondisi saat ini memang belum ada cara yang lebih baik untuk menurunkan angka dan data penyebaran Covid-19 secara singkat.
Semoga momentum pemulihan pariwisata Bali yang akan terjadi di tiga bulan penutup tahun 2021 tidak lagi dibatasi dengan pembatasan-pembatasan. Sayang kalau winter break, Christmas, dan New Year Eve terlewat dengan kemenangan pandemi untuk kesekian kali.
Penulis Dosen Undiknas University