Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Tampaknya apa yang sedang terjadi di Indonesia senada dengan apa yang telah terjadi di India dengan sebutan tsunami Covid-19. Indonesia belakangan bahkan tercatat sebagai salah satu dari 5 negara dengan jumlah kasus Covid terbanyak melebihi India.
Peningkatan jumlah kasus tersebut menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan PPKM yang telah berlaku selama kurang lebih dua minggu dan selama itu pula belum terlihat adanya pelandaian kasus Covid-19 dengan varian barunya secara signifikan. Kebijakan tersebut terkesan sangat dilematis, di satu sisi kondisi peningkatan kasus menyebabkan pemerintah mengeluarkan aturan sebagai upaya menurunkan kasus, namun di sisi lain masyarakat menengah ke bawah, yang bekerja di sektor informal merasakan dampak yang sangat memberatkan secara ekonomi.
Menjadi sehat adalah harapan kita semua, namun perut lapar untuk menjadi sehat merupakan sebuah keniscayaan. Bagaimana mereka menjadi sehat bila perut mereka lapar. Menunggu bantuan dan uluran tangan dari donatur saja tentulah tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan. Di samping perut lapar mereka juga perlu menutupi berbagai kebutuhan pokok lainnya. Itu sebabnya kebijakan PPKM tentu sangat memberatkan bagi mereka yang mengais rejeki di sektor informal ini.
Indonesia bukanlah negara kaya yang mampu men-support masyarakat seperti di negara-negara maju bila memberlakukan lockdown. Negara bisa “collapse” (runtuh) bila ini diberlakukan, apalagi dalam waktu yang lama. Itu sebabnya pemerintah penuh pertimbangan dalam memberlakukan regulasi.
Pemerintah hanya memberlakukan PPKM. Namun kebijakan inipun tampaknya juga mendapatkan kecaman dari berbagai pihak masyarakat yang memang terdampak. Menyalahkan pemerintah tentu tidak elok pada situasi saat ini, karena pemerintah pada dasarnya mengeksekusi regulasi untuk mengusahakan keselamatan dan kesehatan sebesar-besarnya umat manusia.
Mereka sudah berjibaku untuk mengusahakan berbagai cara mulai dari percepatan vaksinasi, penyediaan fasilitas kesehatan, sampai dengan penyaluran berbagai bantuan sosial. Oleh karena itu, tugas kita sebagai anggota dari masyarakat bukan untuk mengklaim pemerintah, namun bagaimana sebisanya membantu pemerintah untuk mengatasi situasi, yakni membantu tidak turut serta menjadi penyebab penularan yang akan memperpanjang lamanya kasus bercokol di muka bumi.
Dari perspektif edukatif, menjalankan aturan yang ditetapkan pemerintah merupakan dorongan eksternal yang wajib dituruti. Di dalamnya tentu ada sedikit ‘paksaan’, dan dalam usaha penegakan aturan disertai dengan adanya denda bagi yang melanggar. Oleh karena itu, konsekuensi dari sebuah aturan dapat menimbulkan rasa senang atau tidak senang bahkan benci, yang berujung pada perlawanan.
Untuk mencegah hal-hal yang tidak menyenangkan atau kontra-produktif, akan lebih baik bila kita lebih mendorong kesadaran yang timbul dari diri sendiri (internal drive). Ini akan jauh lebih berhasil dibandingkan dengan aturan yang ‘memaksa’. Memiliki kesadaran internal untuk menjalankan perilaku disiplin adalah sebuah keharusan pada saat pandemi memuncak seperti sekarang. Disiplin yang tinggi untuk mencegah (preventif) daripada mengobati (kuratif).
Mencegah terjadinya kasus dengan melakukan prokes jangan dianggap sebagai aturan yang memaksa, namun lebih kepada kontrol diri untuk menjaga kesehatan. Memakai masker misalnya merupakan hal yang paling krusial saat ini, hal sederhana dan sangat fundamental bila dilakukan dengan disiplin tinggi oleh seluruh masyarakat, maka ini akan dapat menyelamatkan umat manusia dari kehancuran dan kebinasaan.
Berpikir dan berperilaku kuratif ini jauh lebih berbahaya. Mengapa demikian? Karena di dalamnya ada dua kemungkinan, yakni menjadi baik atau sebaliknya menjadi kurang baik yang biasanya berdampak pada sebuah penyesalan (regret) dan selalu datang terlambat.
Pengobatan bila berhasil membuat kita menjadi baik, dan bila tidak berhasil menyebabkan nyawa melayang. Dan ujung-ujungnya kita menjadi menyalahkan keadaan, menyesal akan perilaku yang telah kita lakukan, sedih, stress, depresi, dan bisa jadi berdampak pada kesehatan mental. Berdasarkan fakta-fakta ini, maka sudah sebaiknya kita mulai merefleksikan diri untuk lebih mendorong kesadaran diri sendiri untuk berpikir dan berperilaku preventif dibandingkan kuratif, agar bisa menjadi agen perubahan (agent of change) untuk menjadikan Indonesia segera keluar dari pandemi dan kita bisa hidup lebih sehat dan normal. Bila ini dijalankan dengan kesadaran tinggi, maka dapat diyakini kita tidak perlu aturan PPKM.
Penulis Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha