Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Tanggal 23 Juli lalu diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Tema HAN tahun ini mengadaptasi pandemi Covid-19 “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Peringatan HAN bermula dari sebuah gagasan untuk mewujudkan kesejahteraan anak. HAN diperingati sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 pada tanggal 19 Juli 1984.

Dorothy Law Nolte dalam puisinya yang berjudul “Dari Lingkungan Hidupnya Anak-anak Belajar” menuliskan, “jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki; jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar menentang; jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri; jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar jadi penyabar; jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri; jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai; jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia akan terbiasa berpendirian.”

Puisi itu mengingatkan ‘masa-masa sulit’ pandemi Covid-19 ini terhadap pemenuhan hak-hak anak untuk bermain, berwisata dan belajar. Dalam perspektif tourism, anak merupakan subyek warga negara yang wajib dan layak terpenuhi haknya dalam berwisata. UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 11 menyatakan, setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Senada dengan itu, UU Kepariwisataan yang baru (UU Nomor 10 Tahun 2009) Pasal 18 ayat 1 butir a disebutkan, setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata.

Baca juga:  Lawan Pandemi, Presiden Jokowi Ingatkan Anak Indonesia Terapkan Prokes 3 M

Penekanan khusus anak sebagai bagian dari wisatawan yang layak terpenuhi haknya selama ini terkesan tersubordinasi. Oleh karena, subjek penting dalam pengambilan keputusan berwisata dan pembelanjaan selama berwisata ada pada orang dewasa dan orang tua. Namun, sekali lagi kita perlu melihat aspek strategis pengedepanan anak sebagai subyek yang wajib terpenuhi hak berwisatanya, tepatnya pada momen HAN ini. Pada perayaan Hari Pariwisata Sedunia 27 September tahun 2016, UNWTO mengangkat isu “Tourism Promoting Universal Accessibility”. Sekjend PBB, Ban Ki-Moon, menegaskan, hak-hak mendasar dalam berwisata di seluruh dunia harus dipastikan terpenuhi bagi tiga kalangan ini: penyandang disabilitas, kalangan lanjut usia (lansia) dan wisatawan keluarga yang membawa anak kecil.

Sekurangnya ada dua aspek strategis transformasi atau upaya-upaya perbaikan pengelolaan destinasi wisata ’ramah anak’ pada era new normal, tentu dalam konteks ketika persebaran virus corona di dalam negeri terkendali. Pertama, sebagai investasi nasionalisme bangsa di kemudian hari. Kita melihat, tantangan terberat yang dihadapai kepariwisataan di Tanah Air dewasa ini, dan mungkin pula dalam satu dekade ke depan adalah, murahnya biaya berwisata ke negara-negara tetangga di Asia. Karena itu, kepekaan pasar domestik untuk meminimalisir perjalanan wisata ke luar negeri, dan menggantikannya dengan perjalanan wisata di dalam negeri, sangat penting.

Baca juga:  Implikasi Rendahnya Kompetensi Numerasi Siswa Bali

Peningkatan perjalanan wisata kalangan keluarga pada masa normalisasi pascapandemi Covid-19 juga berperan sebagai katalisator guna mempercepat pengembangan destinasi wisata yang memenuhi standar kelayakan’ramah anak’. Sebelumnya, pemerintah telah mengadakan program kota untuk anak yang digerakkan mulai dari Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan Ibukota.

Pada program ini, daerah yang dijadikan kota anak harus memenuhi hak-hak anak. Mulai dari hak kesehatan, pendidikan, keamanan, infrastruktur, lingkungan yang aman, pariwisata bermain. “Intinya kota tersebut dirancang memang untuk anak,” ujar Meutia Hatta (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan waktu itu). Ini dilakukan karena melihat perkembangan daerah mulai dari desa hingga kota yang sangat pesat (jatim.go.id, 20/4/09).

Untuk itu, yang mendapatkan hak atas perkembangan ini tidak hanya orang dewasa, namun juga anak-anak yang 25 tahun mendatang akan menjadi penerus bangsa. Kota anak yang dirancang nantinya akan menyediakan segala fasilitas untuk anak. Antara lain, fasilitas belajar, bermain dengan mainan-mainan yang bagus, bahkan mungkin mahal.

Baca juga:  Apakah Pilpres 2024 Berpotensi Dongkrak Inflasi?

Ini agar anak-anak dari keluarga tidak mampu juga bisa merasakan bisa bermain dengan mainan yang rata-rata milik anak orang berada. Diberi pula fasilitas hiburan lainnya, seperti televisi dengan program acara yang sesuai. Kota anak juga harus mampu memberi rasa aman pada mereka. Hak rasa aman diwujudkan dalam bentuk bantuan hukum, rehabilitasi berupa terapi psikologis terutama bagi anak korban kekerasan.

Destinasi wisata dengan diferensiasi ’ramah anak’ bisa dilihat sebagai peluang bagi pengembangan industri kepariwisataan daerah yang semakin mendesak, strategis dan penting setelah pandemi covid-19. Investasi pengembangan destinasi wisata ’ramah anak’ tidak dapat hanya dilihat dari satu perspektif (biaya), namun juga dampak sosial dan ekonomi di masa mendatang.

Melalui pengembangan kesadaran bahwa anak merupakan subyek penting dan vital dalam kepariwisataan di Tanah Air, kita berharap agar masa kanak-kanak generasi penerus bangsa dapat terlewati dengan sewajarnya. Mari kita bangun destinasi wisata yang ‘ramah anak’, hingga tiba waktunya perjalanan di dalam negeri dimungkinkan setelah virus corona dapat dikendalikan dan masyarakat mengalami herd immunity.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *