Dewa Ayu Eka S. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Ayu Eka S.

Dalam sepuluh tahun terakhir, penambahan jumlah penduduk miskin di Bali mencetak rekor baru. Dibandingkan dengan periode Maret 2020, jumlah penduduk miskin di Bali pada periode Maret 2021 bertambah 36,78 ribu jiwa, yang merupakan penambahan tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

Seperti dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali pada 15 Juli 2021, jumlah penduduk miskin di Bali pada Maret 2021 tercatat sebanyak 201,97 ribu jiwa (4,53%), sedangkan di Maret 2020 tercatat 165,19 ribu jiwa (3,78%). Memang penambahan penduduk miskin di periode Maret 2021 tidak bisa dilepaskan dari andil pandemi Covid-19.

Ketimpangan pengeluaran yang diukur dengan gini ratio memperlihatkan kenaikan pada Maret 2021 ketika dibandingkan dengan Maret 2020 (masa awal pandemi Covid-19 di Bali). Jika pada Maret 2020 gini ratio Provinsi Bali sebesar 0,369, di Maret 2021 naik menjadi 0,378. Kenaikan ketimpangan yang terjadi di Bali selama kurang lebih setahun (Maret 2020-Maret 2021) pandemi Covid-19 merupakan tertinggi ke-tiga di Indonesia, di bawah Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Memang kenaikan ketimpangan ini, bukanlah yang pertama terjadi di Bali.

Pada periode Maret 2019- Maret 2020 ketimpangan pengeluaran penduduk Bali juga naik (naik 0,03 poin), namun tidak sebesar periode Maret 2020-Maret 2021. Kenaikan ketimpangan pada periode Maret 2019-Maret 2020 hanya menempatkan Bali di posisi 8 dari 34 provinsi di Indonesia sebagai provinsi yang mengalami kenaikan ketimpangan tertinggi. Walaupun ketimpangan pengeluaran penduduk Bali naik, besarnya ketimpangan di Maret 2021 masih berkategori ketimpangan sedang.

Baca juga:  Penduduk Miskin Bali di September 2021 Capai Tertinggi Kedua Setelah 2015

Kenaikan gini ratio seperti yang disebutkan di atas merupakan cerminan bahwa ketimpangan pengeluaran antar penduduk Bali yang semakin lebar jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Bank Dunia telah menyarikan beberapa penyebab kenaikan ketimpangan di Indonesia, yang notabene bisa jadi juga terjadi di Bali.

Diantaranya adalah perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh rumah tangga-rumah tangga di Bali untuk mendapatkan penghasilan, sehingga besarnya penghasilan yang diperoleh pun akan berbeda, yang mana ada rumah tangga yang bisa mendapatkan penghasilan besar dan sebaliknya ada yang hanya bisa mendapatkan penghasilan yang jauh dari kata layak. Selain itu, bencana juga dapat mengikis aset dan pendapatan rumah tangga seperti Covid-19 ini.

Ketimpangan yang melebar merupakan sinyalemen bahwa tingkat kesejahteraan antar penduduk, terutama kelompok penduduk dengan kesejahteraan bawah dan atas semakin jauh. Ketika kelompok penduduk dengan kesejahteraan bawah masih berjibaku untuk memenuhi kebutuhan perut (makanan), kelompok penduduk dengan kesejahteraan yang lebih tinggi sudah bisa menikmati fasilitas kesehatan, pendidikan terbaik, bahkan sudah bisa menganggarkan liburan.

Baca juga:  Dipertanyakan, Jumlah Penduduk Miskin Denpasar Membengkak hingga Seratusan Ribu Orang

Untuk melihat secara jelas gambaran perbedaan antar kelompok penduduk ini, mari kita bagi penduduk Bali secara rata menjadi 10 kelompok (selanjutnya masing-masing kelompok disebut desil) berdasarkan tingkat kesejahteraannya, dengan urutan 10% penduduk di kelompok terbawah (kelompok desil 1) merupakan kelompok yang memiliki tingkat kesejahteraan terendah, dan semakin ke atas menunjukkan tingkat kesejahteraan yang semakin tinggi.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2020 memperlihatkan penduduk Bali yang berada di kelompok 10% terbawah masih memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan makanan alias masih berjibaku dengan urusan perut, yang mana sebagian besar (66,25%) dari pengeluaran mereka adalah untuk konsumsi makanan. Berbanding terbalik dengan 10% penduduk Bali dengan kesejahteraan tertinggi yang hanya menghabiskan 31,77% pendapatannya untuk konsumsi makanan, dan sisanya digunakan untuk mengonsumsi bukan makanan, seperti untuk perumahan, pendidikan, kesehatan, barang tahan lama, barang berharga, liburan, dan sebagainya.

Di samping itu, pertumbuhan konsumsi kedua kelompok ini pun cukup berbeda. Konsumsi setiap penduduk di kelompok 10% penduduk terkaya di Bali naik rata-rata 8,31% pada tahun 2020, sedangkan kelompok 10% penduduk terbawah hanya naik 6,30%.

Baca juga:  Jangan Tunda Terbitkan Perppu

Kenaikan ketimpangan memang bukan hanya menjadi masalah Bali, karena daerah lain pun ada yang mengalaminya. Isu ini menjadi penting karena kenaikan ketimpangan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan (Bank Dunia, 2015). Apalagi mengingat Pemerintah Provinsi Bali yang sedang terus berupaya untuk menurunkan angka kemiskinan.

Selanjutnya apa yang bisa dilakukan. Untuk jangka pendek, bantuan sosial yang bersifat langsung tunai atau bantuan pangan masih sangat diperlukan mengingat kebutuhan akan makanan masih menjadi prioritas pemenuhan di kelompok penduduk dengan kesejahteraan terendah di Bali.

Untuk jangka panjang, sebenarnya Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah digulirkan oleh Pemerintah Pusat sejak 2007 sudah cukup tepat. PKH sendiri merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki akses keluarga miskin dan rentan miskin terhadap layanan kesehatan, penddikan, dan kesejahteraan sosial guna meningkatkan kualitas hidup keluarga sasaran, dan dalam cakupan yang lebih luas untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan (BPS, 2021).

Penulis Statistisi di Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *