Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Tat Twam Asi adalah ajaran agama Hindu yang mengajarkan moralitas atau kebaikan. Berasal Dari bahasa Sanskerta, Tat artinya Ia, Twam bermakna kamu, dan Asi berarti adalah.
Jadi secara harfiah Tat Twam Asi mengandung makna Ia adalah kamu. Jadi, ia sama dengan kamu, kamu sama dengan saya, dan saya adalah sama dengan kita semua, termasuk semua makhluk hidup yang ada di muka bumi tanpa perbedaan suka, agama, ras, adat istiadat dan yang lainnya.
Ajaran ini mengajarkan kita bahwa semua makhluk adalah sama yaitu sama-sama sebagai ciptaan Sang Maha Pencipta yang telah memberikan kita nafas kehidupan, yang artinya tidak ada satu lebih baik dari yang lain atau satu lebih hebat dari yang lain. Seperti yang ditegaskan oleh Sad Guru, Sang Pencipta tidak pernah membeda-bedakan ciptaannya, mengapa kita “sangat berani” untuk membedakannya? Manusia terlalu berani membuat penilaian akan perbedaan, padahal Sang Pencipta selalu memberikan perhatian yang sama pada semuanya.
Makhluk sekecil ulat saja, bila dia tidak ada di dunia, maka dalam hitungan beberapa bulan semua manusia di muka bumi ini akan hancur. Berdasarkan fakta ini, maka manusia sudah selayaknya untuk saling menghormati semua ciptaannya tanpa pandang bulu.
Terkait dengan apa yang menjadi fenomena terbaru, kita sering sekali mengecilkan atau merendahkan apa yang telah diperbuat seseorang, meski yang bersangkutan memiliki berbagai prestasi yang membanggakan. Seakan kebaikan atau prestasinya begitu saja terhapus dan terlupakan. Tak terkecuali dengan Bapak Presiden kita, Jokowi, yang notabene secara jabatan, ada di posisi puncak.
Namun, beliau terlalu sering disalahkan, diremehkan, direndahkan, dihujat, dihina, dan berbagai penilaian negatif lainnya. Tampak Sang Penilai tersebut seperti paling benar dan absen dari kesalahan.
Kaca mata refleksinya tampaknya sedang buram atau rusak dalam menilai dirinya sendiri sebelum menilai orang lain. Apalagi bila sampai menyebar berita yang tidak benar (hoaks) dan memutarbalikkan fakta. Ini merupakan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama dan kemanusiaan.
Ajaran agama selalu mengajarkan kebaikan, kesusilaan, atau moralitas. Namun, kita senang melihat orang lain menderita. Kita tertawa di balik penderitaan orang. Padahal ajaran Tat Twam Asi menegaskan bahwa bila dia menderita, maka akupun juga menderita.
Oleh karena itu, tidak ada gunanya untuk melakukan hal-hal yang membuat dia atau kamu menderita, karena pada kenyataannya saya atau kita semua menjadi menderita juga.
Menilai ke dalam diri atau introspeksi diri sesungguhnya jauh lebih baik daripada menilai orang lain. Kalau kita mau menelisik lebih dalam, pandemi Covid-19 ini dengan varian barunya merupakan teguran atau pelajaran dari Tuhan untuk membuat manusia lebih masuk ke dalam diri.
Secara aturan, kita tidak boleh banyak berhubungan atau berkumpul dengan orang lain. Jadi, hendaknya waktu lebih banyak digunakan bukan untuk menyebar hoaks atau menjelek-jelekkan orang lain demi kepentingan individu atau kelompok, tetapi sebaliknya lebih mempelajari dan menyadari kelemahan dalam diri, dan kemudian mengembangkan hal-hal positif. Sebab, hidup ini singkat, jadi sepatutnya digunakan untuk lebih banyak menebar kebaikan.
Kebaikan-kebaikan kemanusiaan yang perlu dilakukan, antara lain adalah minimal turut serta mematuhi regulasi. Bila kita mematuhi regulasi, kita bisa berkontribusi untuk segera memotong rantai penyebaran Covid-19.
Kebaikan lainnya adalah mereka yang senang berselancar di dunia maya, sebaiknya menahan diri untuk tidak menyebarkan berita hoaks, agar pemerintah fokus dalam melaksanakan pemerintahan sehingga mampu mengatasi pandemi yang sedemikian berat.
Bila memungkinkan, kita turut serta berkontribusi finansial untuk membantu masyarakat dan pemerintah mengatasi masalah kemanusiaan ini. Tidak perlu harus menyumbang besar seperti yang dilakukan oleh keluarga Tiong Hoa baru-baru ini, yang trending topic dengan sumbangan tak tanggung tanggung.
Cukup menyesuaikan dengan kemampuan. Melakukan kebaikan tidak dihitung besar-kecilnya, tetapi niat di dalamnya. Tulus atau tidak. Apalagi bila dilakukan dengan tidak memandang SARA. Inilah ajaran Tat Twam Asi yang sesungguhnya.
Penulis Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha