Oleh Dewa Gde Satrya
Olimpiade Tokyo dihelat dalam suasana pandemi pada 23 Juli-8 Agustus. Catatan penting menyertai perayaan even olah raga terbesar di dunia ini adalah, kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah Olimpiade yang kabarnya telah diusulkan untuk Olimpiade 2032.
Surat pernyataan keinginan Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade pada 2032 yang ditandatangani Presiden RI, telah diberikan kepada Presiden IOC (International Olympic Committee) Thomas Bach oleh Dubes RI di Bern, Muliaman D Hadadenin, pada Senin (11/2/2019). Dengan demikian, Indonesia resmi dicalonkan menjadi kandidat tuan rumah even olahraga terakbar di dunia itu. Olimpiade tahun 2020 diselenggarakan di Tokyo, 2024 di Paris, 2028 di Los Angeles.
Selain Indonesia, tiga negara lain akan mengikuti bidding sebagai tuan rumah Olimpiade 2032, di antaranya Jerman, Australia, dan India. IOC akan mengumumkan pemenang tuan rumah Olimpiade 2032 pada 2025, masih ada waktu empat tahun bagi Indonesia untuk berbenah. Olahraga selain penting untuk kesehatan jiwa dan raga, juga semakin relevan dengan konteks perkembangan jaman di mana olah raga itu sendiri tidak dapat berdiri sendiri. Nilai plus olahraga justru semakin tampak manakala disinergikan dengan sektor lain, pariwisata khususnya. Sebaliknya, kepariwisataan itu sendiri juga semakin terdiversifikasi dengan adanya produk hasil kolaborasi dengan olahraga.
Dunia bahkan mengenal even olahraga tidak sebatas pertandingan antarnegara, tetapi lebih-lebih menyangkut gengsi tuan rumah, gengsi juara dan terutama, even wisata yang ditandai dengan kedatangan kontingen, atlet, supporter dan official yang bertanding. Ada dua keuntungan sekaligus terkait sport tourism, sebagai pemenang jelaslah membanggakan asal negara di kancah dunia, dan sebagai tuan rumah menjadi momentum emas meraih devisa. Pemerintah terus berpacu melakukan pembangunan infrastruktur – baik yang terkait langsung dengan olah raga maupun yang mendukung – yang berkualitas dan berstandar internasional.
Infrastruktur yang terkait langsung terletak pada fasilitas dan standar kualitas arena pertandingan berstandar internasional. Sarana pendukung mulai dari airport, transportasi, akomodasi hotel, tempat perbelanjaan dan sarana rekreasi, rumah sakit, keamanan dan kebersihan, dan sebagainya. Persiapan Olimpiade di Beijing beberapa tahun lalu misalnya, pemerintah setempat memberlakukan kebijakan meminimalkan polusi udara dengan pembatasan peredaran moda transportasi, khususnya di area pertandingan.
Kesiapan penting lainnya terkait mentalitas bangsa Indonesia sebagai tuan rumah Olimpiade. Rendahnya budaya dan praktek fair play di dunia olahraga, bisa menjadi cerminan suatu bangsa. Mentalitas tidak siap mengejar ketertinggalan dan kekalahan dengan kerja cerdas adalah bukti rendahnya praktek hidup fair play. Di dunia olah raga kita melihat hiburan. Sepak bola misalnya, hiburan tersaji lewat permainan yang terus menerus saling menyerang, terus menerus berada di daerah berbahaya lawan.
Sepak bola dengan amat tegas melibatkan penontonnya untuk senantiasa berani berada di antara kemenangan dan kegagalan.
Karena itu, sepak bola dapat mengajari orang untuk mengalami realisme nasib. Refleksi tentang sepak bola dan olah raga laik kita renungkan dari pendapat filsuf berikut ini, filsuf eksistensialis dari Prancis, Albert Camus, menyatakan, “dalam hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berhutang budi pada sepak bola.” “Setiap detik hidup adalah final,” begitu kata Franz Kafka. Tidakkah, sepak bola adalah ekspresi ekstrem bagi pendapat Kafka tersebut? Atau, kata JW. Gothe, “lebih baik lari daripada bermalas diri.” Bukankah dengan sepak bola dinyatakan bahwa manusia yang malas berlari akan kalah dan tertinggal? “Yang satu roboh, yang lain tegak megah. Dengan kepala, dengan kaki, ia meloncat. Ia bertahan dengan menaruh kepala pada kakinya,” tulis Dante dalam Infernale Firenze. Tidakkah sepak bola adalah drama bagi kehidupan yang jatuh bangun itu?
Budaya fair play identik pula dengan prestasi. Atas berbagai prestasi bangsa Indonesia di ranah olah raga internasional, di situ pulalah bangsa ini dikenal dan dikenang sebagai bangsa yang fair. Hal penting terkait membangun mentalitas sebagai tuan rumah Olimpiade 2032, menyangkut niatan sebagai bangsa yang fair play, menyangkut reputasi, martabat dan citra negara di antara bangsa-bangsa di dunia. Selanjutnya, reputasi positif dan daya saing ini teramat penting dalam membentuk suatu merek sebagai negara yang laik untuk disegani dunia.
Penulis Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya