Oleh Kadek Suartaya
Drona (Durna) adalah seorang guru besar yang kepakarannya tak tertandingi. Lahir dari keluarga brahmana, mengukuhkan Drona sebagai tokoh spiritual yang disegani. Ahli dalam bidang ketangkasan senjata dan strategi perang, memposisikan Drona sebagai figur panutan yang banyak dicari sebagai narasumber dan guru karismatik.
Seperti dituturkan epos Mahabharata, Drona adalah maha guru utama yang sangat dihormati Pandawa dan Korawa. Arjuna dikagumi sebagai maestro yang virtuoso dalam menggunakan senjata panah adalah berkat didikan Drona.
Demikian pula Bima yang ditakuti lawan dengan kepiawaiannya menggunakan senjata gada tak lain karena tempaan Drona. Karena itu, jabatan dan gaji besar yang menjadi haknya sudah sepantasnya menjadi rahmat yang wajar dinikmati Drona.
Nikmat hidup dan posisi penting di lingkaran kekuasaan yang direngkuh Drona adalah melalui liku-liku hidup yang pahit dan terjal. Lahir dari keluarga brahmana yang papa, Drona hidup luntang-lantung tanpa asa.
Namun, walau tampil kumal, Drupada, seorang putra mahkota Kerajaan Pancala, menunjukkan belas kasih yang sudi berteman dengannya, semasa remaja, ketika bersama-sama belajar dalam satu perguruan.
Merasa pernah menjalin persahabatan, ketika Drupada naik tahta, Drona datang minta tolong untuk dientaskan dari kemiskinan yang setia menjerat hidupnya. Tetapi Drupada sudah tak menyisakan rasa belas kasih kepada Drona.
Oleh seorang patih Kerajaan Pancala, Drona diusir dan dianiaya hingga tangannya terpelintir bengkok. Beruntung, setelah kejadian itu, nasib baik menghampirinya dengan diterima di Istana Astina, sebagai guru putra-putra Drestarasta dan Pandhu.
Ketika seratus Korawa dan Panca Pandawa telah menginjak dewasa, sikap guru Drona terlihat pilih kasih kepada anak asuhnya. Drona tampak mulai berat sebelah menguntungkan Duryadana cs dan cenderung meminggirkan Yudistira dan adik-adiknya.
Kemewahan dan harta benda yang memanjakan dari Korawa membuat Drona lupa diri. Iri dengki Korawa kepada Pandawa dijembatani oleh Drona.
Lakon carangan dalam versi pewayangan Jawa dengan tajuk Dewa Ruci adalah menceritakan tindakan jahat dari Duryadana untuk mencelakai Bima melalui perintah guru Drona. Namun bukan kematian yang menimpa Bima, justru kakak Arjuna ini memperoleh hakikat kehidupan serta anugrah kesaktian dari para dewa.
Sebagai guru besar yang bergengsi tinggi, Drona dikenal diskriminatif kepada pihak-pihak yang ingin menimba ilmu padanya. Karna, sebelum didaulat Duryadana menjadi penguasa Awangga, pernah ditolak Drona ketika ingin berguru padanya, dengan alasan Karna adalah hanya anak seorang kusir kereta kuda.
Demikian pula ketika seorang pemuda desa, Ekalaya (Ekalawya), datang hendak berguru, sama sekali tak digubris Drona. Ekalaya kemudian belajar otodidak dengan berimajinasi berguru pada Drona yang dikaguminya.
Karena belajar total sarat keuletan, Ekalaya berhasil menjadi pemanah yang tangguh. Siriknya, karena tak ingin Ekalaya dapat menyaingi Arjuna, Drona meminta “murid” yang pernah dicampakannya itu untuk memotong ibu jarinya agar kemampuannya memanah pupus.
Walau diperlakukan semena-mena oleh “gurunya”, Ekalaya tetap menaruh hormat pada Drona.
Menjelang pecahnya Bharatayuda, Drona semakin menunjukkan prilaku bablas demi kepentingan Korawa.
Seorang dalang wayang kulit Bali, I Ketut Madra, pada tahun 1975 pernah menciptakan lakon carangan berjudul Anta Kusuma yang membeber sikap licik Drona. Dalang masyur Desa Sukawati, Gianyar, itu mengisahkan siasat Drona untuk menggeroti kekuatan Pandawa.
Lakon pagelaran wayang kulit yang rekaman komersialnya masih beredar hingga kini dalam kemasan pita kaset itu pada intinya meminta anak Bima, Gatotkaca yang gagah perkasa, memberikan rompi/bajunya kepada Drona. Para Pandawa yang hormat kepada Drona meminta kesediaan Gatotkaca untuk menyerahkan dengan ikhlas, walau kesaktian terbangnya akan sirna.
Kala lakon ini sering dipentaskan pada tahun 1970-an, penonton bersedih ketika tubuh Gatotkaca dikuliti untuk melepas bajunya dan sebaliknya penonton amat benci dengan ulah Drona. Akhir lakon ini, prilaku busuk Drona terbongkar dan baju anta kusuma milik Gatotkaca kembali utuh.
Drona dikisahkan sebagai ayah yang sangat menyayangi anak tunggalnya, Aswatama. Segala keinginan duniawi anaknya ini selalu dituruti. Itulah sebabnya gaji besar yang diterimanya sebagai guru besar Kerajaan Astina senantiasa tak pernah cukup, bahkan kurang, untuk memanjakan Aswatama.
Begitu sangat sayangnya Drona kepada anaknya sehingga menjadi penyebab kematiannya dalam perang Bharatayuda. Kekejian dan keculasan Drona dihentikan oleh kepolosan dan “kejujuran” seorang Yudistira.
Di tengah medan perang Kuruksetra yang sedang berkecamuk, tiba-tiba Drona mendengar lontaran teriakan “Aswatama mati”. Terkejut dengan teriakan itu, Drona bertanya kepada Yudistira yang tak pernah berbohong.
Yudistira menjawab “Aswatama memang mati”. Seketika itu Drona lunglai, linglung tak sadarkan diri yang dengan sigap dan lugas dipenggal kepalanya oleh Drestadyumena, putra Drupada.
Padahal yang dimaksud mati oleh Yudistira adalah seekor gajah yang bernama Aswatama. Sejatinya perjalanan hidup Drona memancarkan moral positif–berhasil menguak kubangan kemiskinan dengan sarat tantangan–menapak posisi terhormat sebagai guru besar istana kerajaan besar.
Hanya sayangnya ketika bertengger di lingkaran penguasa ia terjerembab pada tindak tanduk yang cacat moral, tidak mencerminkan kearifan idealisme guru besar yang berorientasi pada kebenaran dan kejujuran. Guru besar Drona menggadaikan dirinya pada gelimang hedonisme yang membutakan nurani dan untuk itu ia tak sungkan-sungkan mentoleransi dan membiarkan atau merestui kearoganan serta ketamakan Korawa dan sebaliknya mati rasa,bebal, miskin hati terhadap nestapa dan ketidakadilan yang menista Pandawa.
Penulis adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar.