Sugi Lanus. (BP/Istimewa)

Oleh Sugi Lanus

Dinas Kesehatan Provinsi Tingkat I Bali tahun 1980/1981 telah menterjemahkan berbagai lontar usada, salah satunya yang utama adalah Usada Anda Kecacar, yang halaman depannya berisi ‘dresta’ (preseden) yang dipakai pedoman kebijakan pengaturan publik untuk desa adat pakraman ketika mengadapi wabah.

Disebutkan ketika terjadi wabah: Semua upakara, puja wali dan pemujaan pada para dewa dihentikan. Kegiatan keagamaan ditiadakan. Demikian dresta (presenden hukum) berdasarkan lontar Usada Anda Kecacar. Kutipan halaman depan lontar yang menyebutkan peniadaan semua upakara keagamaan sebagai berikut:

“Inilah persyaratan bagaimana tata laksana nenurut ajaran boditatwa untuk diketahui oleh semua orang di seantero pelosok dunia, jika masa berjangkitnya penyakit anda kacacar (wabah) janganlah hendaknya dilaksanakan orang segala kegiatan upacara pemujaan kepada Dewa-Dewa di Pura, di Pemerajan ataupun di Sanggah, terutama pada waktu hari Raya Galungan. Hentikanlah kegiatan itu semua.”

Lontar sejenis tidak hanya ditemukan oleh team penterjemah lontar Dinas Kesehatan Provinsi Tingkat I Bali tahun 1980/1981, namun juga ditemukan di Desa Bugbug, Karangasem. Pesan serupa yang lebih rinci ditemukan persamaannya pesannya dalam lontar koleksi keluarga Griya Sawan, Buleleng, masuk dalam kompilasi lontar Rsi Sasana Catur Yuga.

Lontar yang ditemukan di Desa Bugbug kutipan sebagai berikut:

“Ini pedoman sastra untuk diketahui umum, pedoman bagi pelayan dharma, memuat ajaran kebajikan buddhi (nalar), hendaknya dipahami oleh pemegang pemerintahan, pada saat berjangkit wabah penyakit cacar (wabah), ingatlah begini aturannya dunia: Jangan melaksanakan salwirning walikramā (segala macam pujawali), tidak juga melakukan pemujaan dengan weda-mantra di pura-pura…”.

Baca juga:  Tokoh Masyarakat Minta Gunung Agung Tak Dijadikan Obyek Wisata

Lontar Rsi Sasana Catur Yuga dari Griya Sawan, Buleleng, menyebutkan bahwa pemimpin diperbolehkan meniadakan perayaan Galungan sampai 3 kali jika terjadi wabah. Istilahnya sangat jelas disebutkan sebagai ‘ngencak’ (tidak mengadakan perayaan). Kutipan sebagai berikut:

“…yan kalangan guminira, katibeng gering Andha-kacacar, yan sampun tigang Dungulan, durung guminira wusan karawan, keni sira mapinunas nugraha ring Hyang Padhuka Bhatari Durgga, ngantek’ena wusan wwang ka tibeng gering Andha-kacacar, samangkana pinunas, petang Dungulan sengkernya. Aywa nglintangin petang Galungan, mengencak Galungan ika…”

Terjemahannya:
“..jika banyak kematian di bumi, terlanda wabah penyakit kacacar, lamanya tiga Dungulan, di bumi belum terhenti amukan penyakit itu, seharusnya beliau memohon perkenannya Bhatari Durga, dengan sangat hormat, agar dihentikan umatnya terserang penyakit kacacar. Jangan sampai melakukan mengencak (peniadaan) Galungan sampai 4 kali.”

Batas maksimal peniadaan perayaan Galungan adalah 3 kali Galungan. Artinya 3 Galungan tidak dirayakan demi menghentikan penularan wabah. Yang keempat wajib dilakukan oleh pandita dengan syarat dan ketentuan situasi wabah.

Pembatasan keterlibatan peserta perayaan dipertimbangkan dengan sangat serius. Selama wabah berkecamuk masyarakat diminta secara tegas untuk tidak berkumpul dalam upakara keagamaan, dan bahkan dianjurkan mengindari keramaian, salah satunya dengan mengungsi ke tepian hutan, jauh dari perdesaan masing-masing.

Baca juga:  AS Belum Lewati Puncak Wabah COVID-19, Rekor Kematian Harian Dunia Kembali Terpecahkan

Sastra dresta sebagai acuan kebijakan

Masyarakat Bali mengenal Catur Dresta sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan, yaitu: Śastra drṣṭā, kuna drṣṭā, loka drṣṭā dan deśa drṣṭā. Secara turun-temurun disebutkan bahwa yang menduduki tingkatan tertinggi adalah śastra drṣṭā.

Jika mengacu kepada lontar-lontar tertulis tersebut di atas — yang masuk dalam kategori śastra drṣṭā — dan jika masih masyarakat Bali menganut lontar-lontar upakara dan tatwa sebagai pedoman śastra drṣṭā di Bali, maka sangat mendasar petunjuk lontar-lontar tersebut dipertimbangan sebagai acuan kebijakan publik dan keagamaan oleh pemimpin di Bali dan manggala desa adat pakraman di masa pandemi atau wabah global.

Drṣṭā artinya ‘sang saksi’, ‘sesuatu yang dilihat oleh yang mampu melihat’, pedoman dari kejadian atau acuan sebelumnya yang dipakai oleh para suci leluhur sebelumnya dalam mengambil kebijakan. Kalau kita bandingkan dalam konteks hukum tata negara dan peradilan, drṣṭā sama dengan ‘preseden’ (precedent) yaitu hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai pola pengambilan kebijakan.

Drṣṭā, sebagaimana halnya preseden, adalah prinsip atau aturan yang ditetapkan dalam kasus sebelumnya yang mengikat atau persuasif yang diambil sebagai pedoman ketika memutuskan kasus-kasus berikutnya dengan masalah atau fakta serupa. Desa Pakraman yang berbasis pada drṣṭā sangat menghargai keputusan kasus menurut aturan prinsip yang konsisten, sehingga fakta yang serupa akan menghasilkan hasil yang serupa dan dapat diprediksi, dan kepatuhan terhadap drṣṭā adalah mekanisme untuk mencapai tujuan ajegnya tatanan desa adat pakraman. Bercermin dari prasasti dan pararem yang dihasilkan di era Bali Kuno dan Kerajaan Gelgel-Klungkung, prinsip penyelenggaraan tata kelola desa pakraman atau karaman di Bali terikat pada drṣṭā yang mengacu-merujuk hal-hal yang telah diputuskan di masa sebelumnya, baik menurut śastra drṣṭā, kuna drṣṭā, loka drṣṭā dan deśa drṣṭā.

Lontar-lontar tertulis tersebut di atas, yang di masa lalu diterima dan berlaku sebagai pedoman śastra drṣṭā, sekarang mendesak perlu dibaca kembali. Masyarakat desa adat pakraman sangat perlu membaca śastra drṣṭā ketika menghadapi wabah atau pandemi.

Baca juga:  Wanita dan Kepemimpinan Egaliter

Para leluhur menuliskan lontar-lontar terkait peniadaan upakara dan semua pujawali tersebut di atas, tentunya tidak main-main, tentunya penuh pertimbangan, dan tentunya diputuskan oleh lembaga kepanditaan yang tidak kaleng-kaleng. Peninggalan petunjuk tertulis para leluhur suci berupa śastra drṣṭā perlu menjadi cerminan dan rujukan bagi semua desa adat pakraman. Keteguhan mengacu pada śastra drṣṭā adalah ciri konsistensi desa adat pakraman dalam memegang hirarki Catur Dresta yang menjadi sesuluh mendasar desa adat pakraman di seluruh Bali.

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Sepertinya pemahaman sastra itu kekiru, menurut saya, justru tidak diijinkan ngencak galungan walaopun sekali saja, tapi karena banyaknya kematian, sehingga masyarakat tidak bisa melaksanakan galungan sampai tiga kali galungan, dan wabah masih terjadi, sehingga diharapakan untuk memohon kehdapan dewi Durga agar wabah dihentikan, agar galungan yg keempatbisa dilaksanakan atau jangan sampai galungan yg keempat tidak bisa dilaksanakan. Bukan diijinkan untuk ngencak galungan sampai tia kali. Demikian

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *